MENJELANG peristiwa G30S, isu
sakitnya Presiden Sukarno menjadi salah satu pemicu tindakan yang diambil oleh
beberapa kelompok yang bertikai di bidang politik. Jika Presiden Sukarno
meninggal siapa penggantinya? Sukarno pernah mengalami gangguan ginjal dan
pernah dirawat di Wina. Pada bulan Juli 1965 muncul rumor tentang sakitnya
Sukarno. Tanggal 4 Agustus ia muntah-muntah dan membatalkan jadwal kerja hari
itu. Desas-desus ini menyebar luas. Jenderal A Yani segera berkunjung dan menjumpainya
dalam keadaan "baik-baik saja".
Di dalam memoarnya yang baru
diterbitkan tahun 2000, Subandrio mengatakan bahwa dokter yang memeriksa
Sukarno adalah dokter keturunan Cina dari Kebayoran Baru bukan dokter dari RRC.
Usia yang makin tua menyebabkan mantan Waperdam dan Menlu ini sulit mengingat
suatu peristiwa secara persis. Namun sebetulnya apa yang disampaikannya
barangkali juga ada benarnya. Karena dalam persidangan Mahmillub tahun 1966,
Subandrio mengakui tentang keberadaan dokter dari RRC tersebut. Ini juga
diperkuat oleh keterangan saksi Dr Mahar Mardjono. Namun Presiden Sukarno juga
memiliki dokter pribadi, salah satunya adalah Dr Tan. Mungkin dia yang dimaksud
oleh Subandrio.
Pada tanggal 4 Agustus 1965, Mahar
Mardjono yang sedang praktik di RS St Carolus dijemput oleh Mayor Dr Darjono
(Cakrabirawa) ke Istana Merdeka. Presiden Sukarno muntah-muntah, pusing dan
tidak bisa berdiri karena sempoyongan. Mahar melihat ada dua dokter RRC di
istana Merdeka. Tanggal 8 Agustus 1965, saksi (Mahar) melihat DN Aidit di
Istana Merdeka dan masuk ke ruangan tempat Bung Karno diperiksa. Saat itu saksi
sedang memeriksa kesehatan Presiden dengan dua neurolog dari RRC. Aidit
bertanya bagaimana kesehatan BK. Dijawab Mahar "baik".
Menurut Subandrio dalam persidangan,
penyakit Presiden sebetulnya tidak serius, tapi masalahnya Bung Karno tidak mau
dioperasi. Oleh sebab itu para dokter dari RRC itu melakukan pengobatan dengan
ramuan tradisional untuk mengobati/menghancurkan batu ginjal. Para dokter itu
memang datang secara rutin ke Jakarta, dua kali dalam setahun.
Setelah Soeharto berkuasa, perlakuan
yang diberikannya terhadap Sukarno sekilas kelihatan halus tetapi sebenarnya
sangat menyakitkan. Hal ini terlihat penuturan Oei Hong Kian yang pernah
menjadi dokter gigi Bung Karno. Awal tahun 1967, dr Tan, dokter pribadi Sukarno
meminta Oei datang ke Istana karena sang Presiden sakit gigi. Ternyata
peralatan gigi yang ada di Istana Negara sudah ketinggalan zaman (berasal dari
gudang NICA, Belanda), memakai bor gigi yang tidak dilengkapi air pendingin.
Oei menyarankan agar perawatan gigi
itu dilakukan di rumah sekaligus tempat praktiknya di Jalan Serang karena
alat-alatnya lengkap dan modern. Namun hal itu tidak diizinkan oleh pihak
keamanan. Terpaksa alat-alat yang ada pada tempat praktik Drg Oei dibawa ke
Istana lalu dipasang. Setelah selesai dibawa kembali ke rumah dan dipasang pula
di sana. Betapa repotnya. Ternyata BK memerlukan perawatan yang intensif,
sehingga Oei terpaksa bolak-balik ke Istana. Setiap kali pengobatan Sukarno
menahan Oei untuk bercakap-cakap. Sang Presiden itu sangat kesepian. Tidak ada
lagi pembantu dan temannya yang berani datang ke Istana kecuali segelintir
orang seperti Leimena dan pengusaha Dasaat.
Bulan Maret 1967, Soeharto diangkat
jadi Pejabat Presiden. Sukarno harus angkat kaki dari Istana Merdeka dan pindah
ke Bogor. Sebetulnya sejak lama ia sudah diperlakukan sebagai tahanan rumah.
Permulaan September 1967, Sukarno sakit gigi. Karena di Bogor tidak ada alat-
alat perawatan, ia harus datang ke dokter gigi. Namun itu dilakukan dengan
pengamanan yang ekstra ketat. Pukul 9 pagi, Sukarno datang, sebelumnya mobil
Drg Oei sudah dikeluarkan dari garasi. Mobil Sukarno masuk garasi dan pintu
garasi ditutup. Lalu Sukarno yang masih berstatus Presiden masuk ke rumah
dokter gigi melalui garasi. Ini persis seperti orang memasuki kamar motel di
Jakarta.
Enam orang prajurit bersenjata
lengkap masuk rumah. Bahkan salah satu di antaranya memaksa untuk masuk ke
ruang praktik. Drg Oei dapat meyakinkan bahwa ia harus menjaga rahasia penyakit
pasiennya sehingga tentara itu akhirnya menjaga di depan pintu. Sukarno
beberapa kali datang ke rumah ini bahkan belakangan ia juga meminta kepada Drg
Oei untuk menjadikan rumah itu tempat Bung Karno bertemu dengan putra- putrinya
walaupun hanya sesaat pada waktu gigi sang ayah dirawat.
Drg Oei tidak menyebutkan siapa saja
di antara anak Sukarno yang berkunjung ke sana. Bulan Maret 1968, Drg Oei
pindah menetap di negeri Belanda. Sebelumnya berangkat ia sudah siap untuk
memberi cor emas pada gigi Sukarno, namun urung terlaksana karena pengawasan
terhadap Sukarno semakin diperketat. Dalam perawatan itu Drg Oei membantu
dengan ikhlas, ia sekali tidak dibayar oleh Sukarno (yang memang tidak punya
uang lagi) dan juga tidak oleh pemerintah.
Sejak awal 1968 Bung Karno berada
dalam "karantina politik" dan tinggal di pavilyun Istana Bogor,
kemudian dipindahkan ke peristirahatan "Hing Puri Bima Sakti" di
Batutulis Bogor. Sementara itu tuntutan masyarakat dibuat sedemikian rupa agar
semakin keras mendesak Sukarno diadili dengan dalih keterlibatan dalam
peristiwa G30S. Persangkaan itu diperkuat kenyataan bahwa Sukarno tidak mau
mengutuk PKI yang pimpinannya terlibat dalam percobaan kudeta tersebut.
Dipindahkan
Rachmawati menemui Soeharto di
Cendana meminta agar Bung Karno dipindahkan ke Jakarta. Awal tahun 1969,
Sukarno pindah ke Wisma Yaso di Jalan Gatot Subroto (sekarang Museum Satria
Mandala). Sementara itu Presiden RI pertama itu terus diperiksa oleh Kopkamtib.
Setelah sakit Sukarno makin parah, barulah Soeharto memerintahkan menghentikan
interogasi.
Sebelum Prof Mahar Mardjono
meninggal, ia sempat menceritakan kepada Dr Kartono Mohammad bahwa obat yang
diresepkannya disimpan saja di laci oleh dokter berpangkat tinggi. Dr Kartono
Mohammad sedang menulis kasus kesehatan Bung Karno dengan mewawancarai antara
lain perawat yang sehari-hari menunggui Bung Karno di Wisma Yaso serta Prof
Mahar dan Dr Wu Jie Ping (dokter Cina yang merawat Bung Karno).
Kepada Dr Kartono Mohammad saya
tanyakan lewat email:
1) Apakah Anda mendukung tesis
"BK dibunuh secara perlahan-perlahan oleh HMS ".
2) Pak Mahar mengatakan bahwa resep
yang dia berikan sengaja disimpan di laci oleh seorang dokter militer
berpangkat tinggi. Apakah dapat disebutkan inisial nama dokter tersebut? Kalau
sang dokter masih hidup tentu dapat diperiksa siapa yang memerintahkannya.
Kalau tidak salah, komandan yang menahan BK itu adalah Brigjen (CPM) Nicklany,
apakah dia memerintahkan pelarangan pemberian resep obat kepada BK. Apakah Pak
Mahar juga menceritakan indikasi kesehatan lainnya?
3) Di dalam buku Saelan dilampirkan
daftar obat yang biasa digunakan oleh BK. Bagaimana komentar Anda tentang
obat-obat tersebut, apakah itu untuk mengobat penyakitnya atau lebih banyak
berisi semacam suplemen?
4) Sebelum 1965 BK (dari buku
Saelan) dioperasi di Wina, satu ginjalnya diangkat dan yang satu lagi hanya
berfungsi 25%. Apakah saat terakhir beliau (BK) sudah gagal ginjal dan tidak
diobati sama sekali karena foto terakhir memperlihatkan pipinya yang sangat
bengkak?
5) Bagaimana pula komentar Anda
tentang pernyataan Dewi Sukarno bahwa sebelum meninggal BK ngorok selama lebih
kurang 10 jam, yang konon katanya itu indikasi orang yang diberi obat tidur
atau diinjeksi. Benarkah demikian?
Jawaban dari Dr Kartono Mohammad:
"Saya juga cenderung menduga bahwa Bung Karno "Dibiarkan
meninggal" tanpa perawatan medis yang seharusnya (Bandingkan dengan
perawatan Soeharto saat ini)".
Tanggal 21 Juli 1970 tokoh
proklamator itu wafat. Upacara pemakaman dilakukan secara kenegaraan. Tetapi
Soeharto masih mengatur lokasi kuburan sang mantan Presiden. Maka dicari alasan
bahwa Sukarno semasa hidupnya sangat mencintai ibunya, maka selayaknya ia
disemayamkan di samping makam ibunya di Blitar. Padahal dalam surat wasiatnya
beliau ingin dimakamkan di bumi parahiyangan (di Batu Tulis atau di kebun raya
Bogor). Terdapat protes dari istri-istri dan putra-putri Sukarno, tetapi hal
ini tidak diacuhkan oleh Soeharto. Jadi sampai soal liang kubur Presiden
Sukarno masih diatur oleh Jenderal Soeharto.
Soeharto tidak membawa Sukarno ke
pengadilan dengan strategi ganda. Pertama, Soeharto menjalankan muslihat
"ngluruk tanpa bala", berperang tanpa tentara. Ia berhasil menyingkirkan
lawan politik terbesarnya tanpa membuang banyak tenaga. Rakyat dibiarkan
menghujat dan menuntut Sukarno ke pengadilan. Sebab itu pemeriksaan oleh
Kopkamtib terus dilaksanakan untuk mengakomodasi tuntutan masyarakat tadi.
Tetapi pemeriksaan itu lebih bersifat teror mental yang akan melelahkan Bung
Karno yang sudah sakit-sakitan. Kalau diadili belum tentu terbukti kesalahan
Sukarno, tetapi dengan tanpa pengadilan, rakyat sudah termakan opini bahwa
Presiden RI itu terlibat dalam percobaan kudeta G30S.
Kedua, Soeharto dapat nama baik
karena ia mengamalkan dan mensosialisasikan mikul dhuwur mendhem jero.
Maksudnya orang tua harus dihormati, tentunya dia berharap agar hal serupa
diperlakukan masyarakat terhadap dia nanti. Pada akhir pemerintahan Sukarno memang
banyak orang yang mati karena kesulitan ekonomi, tetapi tidak sebanyak rakyat
yang menderita kekerasan oleh militer terutama selama 1965-1998. Ratusan ribu
bahkan mungkin jutaan orang telah jadi korban semasa Soeharto
memerintah.Dimulai dari pembantaian terhadap PKI, penahanan tanpa proses
pengadilan di Pulau Buru, pembunuhan misterius (petrus), kasus Aceh, Irian Jaya
, Timor Timur, Lampung, Tanjung Priok,) dan lain-lain.
sumber:http://www.ceritaciijail.com/2013/07/presiden-soekarno-dibunuh-oleh-soeharto.html
TERIMAKASIH SUDAH BERKUNJUNG KE BLOG INI, SEMOGA ARTIKEL INI MENAMBAH WAWASAN & MEMBERIKAN MANFAAT BAGI KITA SEMUA YANG MEMBACANYA...JANGAN LUPA UNTUK SELALU BERKUNJUNG KEMBALI...KARENA MASIH BANYAK ARTIKEL MENARIK LAINNYA YANG MENUNGGU UNTUK DIBACA OLEH PARA SOBAT SEMUA.
SELURUH ISI DARI BLOG INI BOLEH DI COPY-PASTE/DISEBARLUASKAN DENGAN SYARAT MENCANTUMKAN LINK SUMBER DARI BLOG INI. THANKS... !