Petrus Kanisius Ojong atau Auwjong Peng Koen Lahir di Bukittinggi, 25 Juli 1920, dengan nama Auw Jong Peng Koen ia adalah salah satu pendiri surat kabar Kompas selain Jakob Oetama.
Ayahnya, Auw Jong Pauw, sejak dini giat membisikkan kata hemat,
disiplin, dan tekun kepadanya. Auw Jong Pauw awalnya petani di Pulau
Quemoy (kini wilayah Taiwan) yang kemudian merantau ke Sumatra Barat.
Ojong sudah dikaruniai anugerah tak terkira. Kelak, meski sudah menjadi
juragan tembakau, trilogi hemat, disiplin, dan tekun tetap dipedomani
keluarga besar (11 anak dari dua istri; istri pertama Jong Pauw
meninggal setelah melahirkan anak ke-7. Peng Koen anak sulung dari istri
kedua) yang menetap di Payakumbuh ini. Saat Peng Koen kecil, jumlah
mobil di Payakumbuh tak sampai sepuluh, salah satunya milik ayahnya.
Artinya, mereka hidup berkecukupan.
Tapi, Sang Ayah, Jong Pauw selalu berpesan, nasi di piring harus dihabiskan sampai butir terakhir. Sampai akhir hayat, Peng Koen tak pernah menyentong nasi lebih dari yang kira-kira dapat dihabiskan. Ojong mempunyai enam anak, empat di antaranya laki-laki. P.K. Ojong saat bersekolah di Hollandsch Chineesche School (HCS, sekolah dasar khusus warga Tionghoa) Payakumbuh. Di masa ini, ia berkenalan dengan ajaran agama Katolik. Beberapa waktu kemudian, dia masuk Katolik dan mendapat nama baptis Andreas. Ia gemar membaca koran dan majalah yang dilanggani perkumpulan penghuni asrama. Kalau murid lain cuma memperhatikan isi tajuk rencana, Auwjong menelaah juga cara penulisan dan penyajian gagasan. Sifat-sifat itu membentuk karakter Auwjong. Kebiasaan hemat membuatnya hati-hati dan teliti. Disiplin dan tekun membentuk dia jadi orang yang lurus dan serius.
Walau sejak di HCK Meester Cornelis dia sudah mulai menulis, pekerjaan pertama Auwjong adalah guru. Mudah dimengerti karena HCK memang sekolah calon guru. Dia memilih HCK karena biayanya murah. Kebetulan, kondisi keuangan keluarganya sepeninggal sang ayah tahun 1933 tidak terlalu baik.Selulus HCK pada Agustus 1940, ia mengajar di kelas I Hollandsch Chineesche Broederschool St. Johannes di kawasan Jakarta Kota. Saat Jepang menyerbu Hindia Belanda, sekolah-sekolah ditutup. Seperti guru-guru lain, Auwjong kehilangan mata pencaharian. Tamatlah kariernya di bidang pendidikan. Waktu bergulir, Auwjong makin lihai memainkan pena. Kepercayaan besar datang, menyusul pengangkatannya sebagai redaktur pelaksana Star Weekly. Di tengah kesibukan mencari berita, dia menyempatkan diri menimba ilmu di Rechts Hoge School (RHS), kini Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Dia juga aktif membantu kegiatan berbau sosial yang diadakan Sin Ming Hui (kini Candra Naya), perkumpulan sosial yang didirikan Khoe Woen Sioe dan Injo Beng Goat. Sin Ming Hui didirikan untuk menyalurkan ketidakpuasan mereka pada para pemuka Tionghoa yang tua-tua dan kaya-raya. Khoe dan Injo merasa para pemuka itu tidak membela orang-orang yang diwakilinya. Khoe dan Injo dikenal sebagai duo antikomunis. Injo Beng Goat bahkan pernah berpidato di corong RRI, menganjurkan golongan Tionghoa selalu mendukung RI. Kelak, Sin Ming Hui menjadi pencetus lahirnya sejumlah organisasi sosial, di antaranya RS Sumber Waras dan Universitas Tarumanegara, Jakarta.
Tahun 1951, Auwjong lulus RHS. Ia segera diangkat menjadi pemimpin redaksi Star Weekly. Ia meminta para ahli menulis tentang masalah yang hangat. Saat Amerika meledakkan bom hidrogen, misalnya, Auwjong mencari orang yang bisa menjelaskan secara populer kepada pembaca. Agar ceritanya tidak terlalu ilmiah, dia menyiapkan dulu pertanyaan-pertanyaan yang lazim muncul di benak awam, kemudian menerjemahkan keterangan rumit si ahli tadi. Auwjong sangat ahli dalam soal seperti ini. Sebagai pengasuh rubrik tetap, dipilih mereka yang benar-benar ahli. Umpamanya, ruang pajak diasuh Mr. Sindian Djajadiningrat, Direktur Jenderal Iuran Negara saat itu. Sedangkan Prof. Poorwo Soedarmo, dokter ahli gizi yang memperkenalkan konsep "Empat Sehat Lima Sempurna", mengasuh ruang gizi.
Auwjong termasuk kutu buku. Buku hariannya penuh judul buku, tanggal, dan harga pembeliannya. Bahkan, selama perjalanan berangkat atau pulang kantor pun ia memelototi bacaan. Dari koleksi bukunya, tercermin luasnya minat Auwjong. Mulai yang berbau hukum, sejarah, kesenian, kesusasteraan, kebudayaan, sosiologi, sains, jurnalistik, filsafat, cerita kriminal, psikologi, tanaman, kesehatan, hingga buku masakan. Cerita tentang Perang Eropa dan Pasifik yang dimuat Star Weekly tahun 1950-an merupakan buah kesukaan Auwjong membaca. Sebagai pimpinan majalah yang cukup disegani, Auwjong tak bisa menutup mata dari aktivitas berbau politik. Akhir 1953, dia termasuk orang yang prihatin pada nasib golongan Tionghoa peranakan yang terancam kehilangan kewarganegaraan Indonesianya.
Waktu itu, pemerintah membuat RUU yang menganggap peranakan Tionghoa di Indonesia memiliki kewarganegaraan rangkap. Kalau mau menjadi WNI, mereka harus aktif menolak kewarganegaraan RRC. Aturan ini sangat tidak menguntungkan buat peranakan Tionghoa yang tinggal di pelosok dan tidak terpelajar. Puncaknya, dalam pertemuan di Gedung Sin Ming Hui, berkumpul sejumlah tokoh peranakan Tionghoa, di antaranya Siauw Giok Tjhan, Tan Po Goan, Tjoeng Tin Jan, Tjoa Sie Hwie (keempatnya angota parlemen), Yap Thiam Hien, Oei Tjoe Tat. Mereka membentuk panitia yang bertugas meneliti masalah kewarganegaraan Indonesia bagi keturunan Tionghoa dengan Siauw Giok Tjhan, (anggota parlemen) menjadi ketua. Panitia ini juga melahirkan Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Bersama sembilan tokoh peranakan Tionghoa lainnya (di antaranya Injo Beng Goat dan Onghokham) dia menandatangani pernyataan berisi dukungan
terhadap proses asimilasi, namun mengimbau agar prosesnya berjalan tanpa paksaan.
Pada saat bersamaan, isi Star Weekly makin menasional. Kalau tadinya edisi khusus hanya untuk menyambut Tahun Baru Imlek, maka kemudian ada edisi Idul Fitri, 17 Agustus, bahkan hari Kebangkitan Nasional. Sampai tahun 1958, tirasnya sudah 52.000; angka yang mengesankan. Itu berkebalikan dengan nasib Keng Po. Pada 1 Agustus 1957, surat kabar antikomunis itu diberangus pemerintah tanpa alasan jelas. Namun bisa diduga, pembredelan ini tak lepas dari peran PKI yang saat itu besar pengaruhnya di pemerintahan. PT Keng Po mengubah nama menjadi PT Kinta (kependekan dari kertas dan tinta).
Itu sebabnya, Auwjong jadi makin hati-hati. Rubrik "Gambang Kromong" yang berisi sentilan dihilangkan. Sedangkan "Timbangan" berganti nama menjadi "Intisari". Benar, Star Weekly tak luput dari peringatan. Rubrik "Tinjauan Luar Negeri", misalnya, kerap dianggap menyentil kebijakan luar negeri Indonesia. Puncaknya, Auwjong dipanggil pihak yang berwenang. Satu kalimat yang ia ucapkan sekembali dari sana ialah, "Wij zijn dood, "Kita semua mati". Seisi kantor terdiam. Pemerintah tak pernah menyebut dengan jelas alasan penutupan majalah bertiras 60.000 (hingga nomor terakhir, 7 Oktober 1961) itu.
Meski dibredel, Auwjong dan para karyawan tetap masuk seperti biasa. Khoe Woen Sioe, direktur Keng Po dan pimpinan Star Weekly berusaha menyalurkan mereka ke unit usaha lain. Khoe sadar, kepandaian sebagian besar anak buahnya cuma tulis-menulis dan cetak-mencetak. Maka, didirikanlah PT Saka Widya yang menerbitkan buku-buku. Sejak itu, Auwjong punya jabatan baru, direktur perusahaan penerbitan buku.
LAHIRNYA "INTISARI" DAN "KOMPAS"
Saat PT Kinta dilanda kemunduran tahun 1963, Auwjong dan Jakob Oetama menerbitkan majalah yang diniatkan untuk membebaskan masyarakat dari keterkucilan informasi. sejak awal 1960-an, Auwjong dan Jakob keduanya sama-sama menjadi pengurus Ikatan Sarjana Katolik Indonesia. Juga pernah sama-sama jadi guru dan punya minat besar pada sejarah. Seperti Star Weekly, Intisari melibatkan banyak ahli. Di antaranya ahli ekonomi Prof. Widjojo Nitisastro, penulis masalah-masalah ekonomi terkenal Drs. Sanjoto Sastromihardjo, atau sejarawan muda Nugroho Notosusanto. Saat itu, pergaulan Auwjong sudah sangat luas. Dia berteman baik dengan Goenawan Mohamad, Arief Budiman, Soe Hok Gie, dan Machfudi Mangkudilaga. Intisari terbit 17 Agustus 1963. Seperti Star Weekly, ia hitam-putih dan telanjang, tanpa kulit muka. Ukurannya 14 X 17,5 cm, dengan tebal 128 halaman. Logo "Intisari"-nya sama dengan logo rubrik senama yang diasuh Ojong di Star Weekly. Edisi perdana yang dicetak 10.000 eksemplar ternyata laris manis.
Kira-kira dua tahun umur Intisari, Ojong dan Jakob menerbitkan Harian Kompas. Saat itu, hubungan antara Intisari dan Kompas mirip-mirip Star Weekly dan Keng Po. Saling membantu, berkantor sama, bahkan wartawannya pun merangkap. Setelah beberapa pengurus Yayasan Bentara Rakyat bertemu Bung Karno, beliau mengusulkan nama "Kompas". Pengurus yayasan - I.J. Kasimo (Ketua), Frans Seda (Wakil Ketua), F.C. Palaunsuka (Penulis I), Jakob Oetama (Penulis II), dan Auwjong Peng Koen (bendahara) - setuju. Mereka juga menyepakati sifat harian yang independen, menggali sumber berita sendiri, serta mengimbangi secara aktif pengaruh komunis, dengan tetap berpegang pada kebenaran, kecermatan sesuai profesi, dan moral pemberitaan. Sesuai sifat Auwjong yang selalu merencanakan segala sesuatunya dengan cermat, kelahiran Kompas disiapkan sematang mungkin.
Soalnya, modal awal mereka cuma Rp 100.000,-, sebagian uang Intisari. Maka, 28 Juni 1965 terbit Kompas nomor percobaan yang pertama. Setelah tiga hari berturut-turut berlabel percobaan, barulah Kompas yang sesungguhnya beredar. Seperti di Intisari, karena alasan politis, nama Auwjong tak dicantumkan di jajaran redaksi. Intisari dan Kompas membuat Ojong bersemangat. Pagi-pagi, sebelum pukul 06.30, dia sudah menjemput para karyawan dengan Opel Caravan. Di perjalanan, Auwjong biasa mengajak mereka mengobrol. Pukul 07.00 Ojong sudah di kantor. "Jangan datang pukul sembilan, kalau ingin karyawan datang pukul tujuh," cetusnya. Tapi Kompas sendiri awalnya sering terlambat terbit hingga dijuluki komt pas morgen (besok baru datang). Ketika terjadi peristiwa G30S/PKI, Ojong dan Jakob harus mengambil keputusan di saat paling krusial. Pelaku kudeta baru mengeluarkan ketentuan, setiap koran yang terbit harus menyatakan kesetiaan. "Jakob, kita tidak akan melakukannya. Sama saja ditutup sekarang dan mungkin juga menderita sekarang atau beberapa hari lagi," tegas Ojong.
Pilihan ini terbukti benar karena upaya PKI gagal total. Tanggal 6 Oktober, semua koran yang tak pernah menyatakan setia pada upaya kup boleh terbit kembali. Keruan saja, dalam kondisi langka koran, Kompas mulai dilirik. Beberapa hari kemudian, saat koran-koran mapan terbit kembali, banyak pembaca tetap membeli Kompas, karena telanjur mencintai surat kabar yang baru mereka kenal ini. Ojong tidak pernah berambisi membuat korannya bertiras paling tinggi. "Biar orang lain saja yang oplahnya paling besar. Kita menjadi nomor dua terbesar saja," katanya. Menjelang akhir hayat, Ojong mulai sadar cara kerja orang lain tak harus sama dengannya. Tak semua orang bisa bekerja sepanjang hari tanpa berhenti sebentar pada saat-saat tertentu untuk beroleh kesegaran baru. Tak heran, kematiannya 31 Mei 1980 terasa begitu "mudah". Begitu mendadak, tanpa didahului sakit yang menyiksa. Barangkali memang cuma wartawan "lurus" yang bisa begini, meninggal dengan benda kesayangan (buku) di sampingnya.
Referensi :
- http://www.lppm.ac.id/article.php?p=top&id=801
- http://myquran.org/forum/index.php/topic,14914.0.html
- http://suprichusnul.multiply.com/journal/item/236?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
Pada saat bersamaan, isi Star Weekly makin menasional. Kalau tadinya edisi khusus hanya untuk menyambut Tahun Baru Imlek, maka kemudian ada edisi Idul Fitri, 17 Agustus, bahkan hari Kebangkitan Nasional. Sampai tahun 1958, tirasnya sudah 52.000; angka yang mengesankan. Itu berkebalikan dengan nasib Keng Po. Pada 1 Agustus 1957, surat kabar antikomunis itu diberangus pemerintah tanpa alasan jelas. Namun bisa diduga, pembredelan ini tak lepas dari peran PKI yang saat itu besar pengaruhnya di pemerintahan. PT Keng Po mengubah nama menjadi PT Kinta (kependekan dari kertas dan tinta).
Itu sebabnya, Auwjong jadi makin hati-hati. Rubrik "Gambang Kromong" yang berisi sentilan dihilangkan. Sedangkan "Timbangan" berganti nama menjadi "Intisari". Benar, Star Weekly tak luput dari peringatan. Rubrik "Tinjauan Luar Negeri", misalnya, kerap dianggap menyentil kebijakan luar negeri Indonesia. Puncaknya, Auwjong dipanggil pihak yang berwenang. Satu kalimat yang ia ucapkan sekembali dari sana ialah, "Wij zijn dood, "Kita semua mati". Seisi kantor terdiam. Pemerintah tak pernah menyebut dengan jelas alasan penutupan majalah bertiras 60.000 (hingga nomor terakhir, 7 Oktober 1961) itu.
Meski dibredel, Auwjong dan para karyawan tetap masuk seperti biasa. Khoe Woen Sioe, direktur Keng Po dan pimpinan Star Weekly berusaha menyalurkan mereka ke unit usaha lain. Khoe sadar, kepandaian sebagian besar anak buahnya cuma tulis-menulis dan cetak-mencetak. Maka, didirikanlah PT Saka Widya yang menerbitkan buku-buku. Sejak itu, Auwjong punya jabatan baru, direktur perusahaan penerbitan buku.
LAHIRNYA "INTISARI" DAN "KOMPAS"
Saat PT Kinta dilanda kemunduran tahun 1963, Auwjong dan Jakob Oetama menerbitkan majalah yang diniatkan untuk membebaskan masyarakat dari keterkucilan informasi. sejak awal 1960-an, Auwjong dan Jakob keduanya sama-sama menjadi pengurus Ikatan Sarjana Katolik Indonesia. Juga pernah sama-sama jadi guru dan punya minat besar pada sejarah. Seperti Star Weekly, Intisari melibatkan banyak ahli. Di antaranya ahli ekonomi Prof. Widjojo Nitisastro, penulis masalah-masalah ekonomi terkenal Drs. Sanjoto Sastromihardjo, atau sejarawan muda Nugroho Notosusanto. Saat itu, pergaulan Auwjong sudah sangat luas. Dia berteman baik dengan Goenawan Mohamad, Arief Budiman, Soe Hok Gie, dan Machfudi Mangkudilaga. Intisari terbit 17 Agustus 1963. Seperti Star Weekly, ia hitam-putih dan telanjang, tanpa kulit muka. Ukurannya 14 X 17,5 cm, dengan tebal 128 halaman. Logo "Intisari"-nya sama dengan logo rubrik senama yang diasuh Ojong di Star Weekly. Edisi perdana yang dicetak 10.000 eksemplar ternyata laris manis.
Kira-kira dua tahun umur Intisari, Ojong dan Jakob menerbitkan Harian Kompas. Saat itu, hubungan antara Intisari dan Kompas mirip-mirip Star Weekly dan Keng Po. Saling membantu, berkantor sama, bahkan wartawannya pun merangkap. Setelah beberapa pengurus Yayasan Bentara Rakyat bertemu Bung Karno, beliau mengusulkan nama "Kompas". Pengurus yayasan - I.J. Kasimo (Ketua), Frans Seda (Wakil Ketua), F.C. Palaunsuka (Penulis I), Jakob Oetama (Penulis II), dan Auwjong Peng Koen (bendahara) - setuju. Mereka juga menyepakati sifat harian yang independen, menggali sumber berita sendiri, serta mengimbangi secara aktif pengaruh komunis, dengan tetap berpegang pada kebenaran, kecermatan sesuai profesi, dan moral pemberitaan. Sesuai sifat Auwjong yang selalu merencanakan segala sesuatunya dengan cermat, kelahiran Kompas disiapkan sematang mungkin.
Soalnya, modal awal mereka cuma Rp 100.000,-, sebagian uang Intisari. Maka, 28 Juni 1965 terbit Kompas nomor percobaan yang pertama. Setelah tiga hari berturut-turut berlabel percobaan, barulah Kompas yang sesungguhnya beredar. Seperti di Intisari, karena alasan politis, nama Auwjong tak dicantumkan di jajaran redaksi. Intisari dan Kompas membuat Ojong bersemangat. Pagi-pagi, sebelum pukul 06.30, dia sudah menjemput para karyawan dengan Opel Caravan. Di perjalanan, Auwjong biasa mengajak mereka mengobrol. Pukul 07.00 Ojong sudah di kantor. "Jangan datang pukul sembilan, kalau ingin karyawan datang pukul tujuh," cetusnya. Tapi Kompas sendiri awalnya sering terlambat terbit hingga dijuluki komt pas morgen (besok baru datang). Ketika terjadi peristiwa G30S/PKI, Ojong dan Jakob harus mengambil keputusan di saat paling krusial. Pelaku kudeta baru mengeluarkan ketentuan, setiap koran yang terbit harus menyatakan kesetiaan. "Jakob, kita tidak akan melakukannya. Sama saja ditutup sekarang dan mungkin juga menderita sekarang atau beberapa hari lagi," tegas Ojong.
Pilihan ini terbukti benar karena upaya PKI gagal total. Tanggal 6 Oktober, semua koran yang tak pernah menyatakan setia pada upaya kup boleh terbit kembali. Keruan saja, dalam kondisi langka koran, Kompas mulai dilirik. Beberapa hari kemudian, saat koran-koran mapan terbit kembali, banyak pembaca tetap membeli Kompas, karena telanjur mencintai surat kabar yang baru mereka kenal ini. Ojong tidak pernah berambisi membuat korannya bertiras paling tinggi. "Biar orang lain saja yang oplahnya paling besar. Kita menjadi nomor dua terbesar saja," katanya. Menjelang akhir hayat, Ojong mulai sadar cara kerja orang lain tak harus sama dengannya. Tak semua orang bisa bekerja sepanjang hari tanpa berhenti sebentar pada saat-saat tertentu untuk beroleh kesegaran baru. Tak heran, kematiannya 31 Mei 1980 terasa begitu "mudah". Begitu mendadak, tanpa didahului sakit yang menyiksa. Barangkali memang cuma wartawan "lurus" yang bisa begini, meninggal dengan benda kesayangan (buku) di sampingnya.
Referensi :
- http://www.lppm.ac.id/article.php?p=top&id=801
- http://myquran.org/forum/index.php/topic,14914.0.html
- http://suprichusnul.multiply.com/journal/item/236?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGAN NYA, SEMOGA SOBAT SEMUA MENDAPATKAN MANFAAT DARI SETIAP ARTIKEL YANG SUDAH DIBACA. JANGAN PERNAH BERHENTI UNTUK BERKARYA, KARYA SEKECIL APAPUN BILA DILAKUKAN DENGAN SEGENAP HATI DAN FOKUS, MAKA AKAN MENJADI SESUATU YANG BESAR. SILAHKAN JIKA SOBAT MAU MEMBERIKAN KOMENTAR.
sumber
sumber