"Aku juga telah datang kepadamu dalam kelemahan dan dengan sangat takut dan gentar."
(
1 Korintus 2:3 )
Manusia
cenderung tidak ingin kelemahan atau kekurangannya terekspos. Dalam
banyak hal kita cenderung berusaha menyembunyikan kelemahan kita
rapat-rapat dan menonjolkan kelebihan kita agar tidak terlihat lemah di
mata orang lain. Kita bahkan merasa perlu untuk mendandani kelebihan
kita habis-habisan agar terlihat 'kinclong' agar orang tidak melihat
kelemahan kita. Tidak jarang pula sebagian orang tega mengeluarkan bad
campaign atau berbicara buruk tentang orang lain semata-mata agar mereka
terlihat hebat. Di sisi lain, ada banyak juga
orang yang menyerah sebelum bertanding karena merasa terlalu lemah dan tidak sanggup berbuat apa-apa. Haruskah kita malu terhadap kelemahan kita? Di sisi lain, apakah kita tidak boleh memiliki kelebihan? Benar, kita memang harus memaksimalkan talenta kita, harus terus meningkatkan kapasitas kita sesuai dengan apa yang telah dianugerahkan Tuhan kepada kita. Tapi kadang kala kita lupa bahwa itu berasal dari Tuhan. Kita terlena akan kelebihan atau kehebatan kita, lantas kita bermegah berlebihan dan bersikap melebihi batas. Fokus kepada apa yang bisa kita lakukan, pada spesialisasi kita masing-masing, itu bagus. Tapi di sisi lain kita pun harus mengakui dengan jujur bahwa kita bukanlah mahluk yang 100% sempurna. Di satu sisi kita kuat, di sisi lain kita lemah. Semua manusia pasti punya kelemahan sendiri-sendiri, baik secara fisik, emosi, kemampuan, intelegensia bahkan juga rohani.
Kita harus berbesar hati berani mengakui kelemahan kita. Mengakui kelemahan bukan berarti kita harus minder. Sama sekali bukan demikian. Tapi mengakui kelemahan disini bertujuan untuk menjaga diri kita agar tetap berpijak di atas bumi, tetap low profile. Mengakui kelemahan bukan mengarah kepada perasaan rendah diri, tapi lebih kepada rendah hati. Kita harus sadar bahwa tanpa Tuhan, sehebat apapun kita, semua itu tidak akan berarti apa-apa.Karena itu kita tidak perlu menyesali kelemahan kita. Justru dengan mengetahui kelemahan kita, kita bisa berusaha untuk mengatasinya tentu saja dengan terus mengandalkan Tuhan dalam proses tersebut.
Kita bisa belajar lewat sosok Paulus. Kita semua tahu bagaimana luar biasanya Paulus menjalankan penginjilannya kemana-mana. Ia dipakai Tuhan secara luar biasa dan menyerahkan segenap jiwa, raga dan tenaganya untuk memberitakan Kristus ke segala penjuru bumi. Tapi lihatlah bahwa sehebat-hebatnya Paulus, dia ternyata tidak merasa malu untuk mengakui bahwa ada masa-masa dimana ia merasa lemah, takut dan gentar. Lihatlah apa katanya kepada jemaat Korintus. "Aku juga telah datang kepadamu dalam kelemahan dan dengan sangat takut dan gentar." (1 Korintus 2:3). Paulus sama sekali tidak malu untuk menyatakan itu, dan ia tidak merasa khawatir disepelekan atau direndahkan orang jika ia mengakui kelemahannya. Dan kita tahu, bahwa meski ia mengakui itu, ia sama sekali tidak goyah dalam menghadapi siksaan dan tekanan dalam misi pelayanannya.
Sebelum sampai kepada perkataannya di atas, Paulus terlebih dahulu menegaskan bahwa pelayanannya bukanlah digunakan sebagai sarana untuk memamerkan kebolehannya. Sama sekali tidak. "Demikianlah pula, ketika aku datang kepadamu, saudara-saudara, aku tidak datang dengan kata-kata yang indah atau dengan hikmat untuk menyampaikan kesaksian Allah kepada kamu. Sebab aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan." (ay 1-2). Paulus menyadari bahwa jika ia bisa melakukan tugasnya, itu bukan karena kuat dan hebatnya sendiri, tapi semata-mata karena Tuhan yang memampukan. Tidak ada niat lain, selain memberitakan tentang keselamatan di dalam Kristus. Paulus sangat mengasihi Kristus. Ia tahu bahwa anugerah terbesar bagi dirinya datang ketika ia diselamatkan dari kematian kekal, keluar dari gelap untuk kemudian menjadi terang. Masa lalu Paulus sama sekali tidak membanggakan. Dengan segala perbuatannya di masa lalu, ia jelas mengarah kepada kebinasaan. Namun ternyata ia diselamatkan bahkan dipilih Tuhan untuk dipakai secara luar biasa. Paulus pasti sangat bersyukur karenanya, Dia berterimakasih kepada Yesus yang telah mati bagi dosa-dosanya, seperti halnya bagi dosa-dosa semua jemaat yang ia layani, termasuk pula bagi dosa-dosa kita hari ini. Dengan kata lain, Paulus sadar betul bahwa tanpa Kristus dia bukanlah siapa-siapa.
Haruskah kita malu dan terus menutup-nutupi kelemahan kita? Haruskah kita pura-pura tegar padahal kita tengah membutuhkan pertolongan? Paulus menyatakan seperti ini: "Tetapi jawab Tuhan kepadaku: "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku." (2 Korintus 12:9). Ia melanjutkan: "Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat." (ay 10). Kenyataannya adalah seperti itu. Seringkali dalam kelemahan dan keterbatasanlah kita justru merasakan betapa besar kuasa Tuhan. Hal itu tidak akan bisa kita rasakan ketika kita berada dalam situasi yang super nyaman tanpa masalah. Selain itu Tuhan pun bisa memakai segala kelemahan kita untuk pekerjaan besar. Jika melihat dari banyak tokoh Alkitab, kita akan segera tahu bahwa Tuhan tidak memakai orang-orang yang pintar pidato, para ahli, cendekiawan, orang-orang kaya, berpengaruh, raja, dan sebagainya, tapi seringkali Tuhan justru memakai orang yang bagi dunia tidak ada apa-apanya. Di tangan Tuhan, orang-orang biasa yang penuh kelemahan ini diubahkan menjadi sosok luar biasa yang pengaruhnya masih kita rasakan hingga hari ini. Bagaimana bisa demikian? Alkitab berkata demikian: "Sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya dari pada manusia dan yang lemah dari Allah lebih kuat dari pada manusia." (1 Korintus 1:25).
Siapapun kita yang punya banyak kelemahan dan keterbatasan ini, Tuhan bisa memakai itu semua. "Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti" (ay 27-28). Tuhan suka memakai orang-orang yang bodoh dan lemah bagi dunia, karena disanalah kuasa Allah akan dirasakan sangat nyata. Karenanya kita tidak perlu malu terhadap kelemahan kita, sebaliknya kita tidak boleh pula bermegah dengan kelebihan kita. It's a reminder, "supaya jangan ada seorang manusiapun yang memegahkan diri di hadapan Allah." (ay 29). Ingatlah bahwa kita memang terbatas dalam segala hal. Lebih dari segalanya, kita harus menyadari bahwa Tuhanlah yang memampukan segalanya, bukan karena kuat dan hebatnya diri kita. "Karena itu seperti ada tertulis: "Barangsiapa yang bermegah, hendaklah ia bermegah di dalam Tuhan." (1 Korintus 1:31).
Ada kalanya Tuhan mengijinkan kita untuk merasakan kelemahan kita, bukan bertujuan untuk menyakiti kita, tapi justru agar kuasaNya nyata pada diri kita. Mungkin kelemahan pada diri kita terdapat pada masalah fisik, seperti cacat, tidak kuat dan sebagainya, mungkin kita punya keterbatasan dalam hal kecerdasan atau kepintaran, mungkin kita punya masalah dengan psikis kita seperti trauma, kekecewaan, kepahitan dan sebagainya. Semua kelemahan ini seringkali menjadi faktor penghambat utama untuk maju. Atasi kelemahan yang bisa kita perbaiki, jangan rendah diri terhadap keterbatasan kita. Janganlah terus membiarkan diri anda tenggelam di dalamnya dan menjadikan kelemahan sebagai alasan untuk tidak berbuat apa-apa, dan jangan pula malu untuk mengakui itu di hadapan Tuhan. Akuilah dan rasakan bagaimana kuasa Tuhan mampu bersinar di atas kelemahan-kelemahan kita. Tidak perlu pula untuk menutupi kelemahan kita dan bersembunyi dibalik kelebihan kita agar terlihat hebat di mata orang. Jadilah diri sendiri, dan tunjukkan bahwa Tuhan bisa pakai kelemahan-kelemahan kita untuk hal-hal besar.
orang yang menyerah sebelum bertanding karena merasa terlalu lemah dan tidak sanggup berbuat apa-apa. Haruskah kita malu terhadap kelemahan kita? Di sisi lain, apakah kita tidak boleh memiliki kelebihan? Benar, kita memang harus memaksimalkan talenta kita, harus terus meningkatkan kapasitas kita sesuai dengan apa yang telah dianugerahkan Tuhan kepada kita. Tapi kadang kala kita lupa bahwa itu berasal dari Tuhan. Kita terlena akan kelebihan atau kehebatan kita, lantas kita bermegah berlebihan dan bersikap melebihi batas. Fokus kepada apa yang bisa kita lakukan, pada spesialisasi kita masing-masing, itu bagus. Tapi di sisi lain kita pun harus mengakui dengan jujur bahwa kita bukanlah mahluk yang 100% sempurna. Di satu sisi kita kuat, di sisi lain kita lemah. Semua manusia pasti punya kelemahan sendiri-sendiri, baik secara fisik, emosi, kemampuan, intelegensia bahkan juga rohani.
Kita harus berbesar hati berani mengakui kelemahan kita. Mengakui kelemahan bukan berarti kita harus minder. Sama sekali bukan demikian. Tapi mengakui kelemahan disini bertujuan untuk menjaga diri kita agar tetap berpijak di atas bumi, tetap low profile. Mengakui kelemahan bukan mengarah kepada perasaan rendah diri, tapi lebih kepada rendah hati. Kita harus sadar bahwa tanpa Tuhan, sehebat apapun kita, semua itu tidak akan berarti apa-apa.Karena itu kita tidak perlu menyesali kelemahan kita. Justru dengan mengetahui kelemahan kita, kita bisa berusaha untuk mengatasinya tentu saja dengan terus mengandalkan Tuhan dalam proses tersebut.
Kita bisa belajar lewat sosok Paulus. Kita semua tahu bagaimana luar biasanya Paulus menjalankan penginjilannya kemana-mana. Ia dipakai Tuhan secara luar biasa dan menyerahkan segenap jiwa, raga dan tenaganya untuk memberitakan Kristus ke segala penjuru bumi. Tapi lihatlah bahwa sehebat-hebatnya Paulus, dia ternyata tidak merasa malu untuk mengakui bahwa ada masa-masa dimana ia merasa lemah, takut dan gentar. Lihatlah apa katanya kepada jemaat Korintus. "Aku juga telah datang kepadamu dalam kelemahan dan dengan sangat takut dan gentar." (1 Korintus 2:3). Paulus sama sekali tidak malu untuk menyatakan itu, dan ia tidak merasa khawatir disepelekan atau direndahkan orang jika ia mengakui kelemahannya. Dan kita tahu, bahwa meski ia mengakui itu, ia sama sekali tidak goyah dalam menghadapi siksaan dan tekanan dalam misi pelayanannya.
Sebelum sampai kepada perkataannya di atas, Paulus terlebih dahulu menegaskan bahwa pelayanannya bukanlah digunakan sebagai sarana untuk memamerkan kebolehannya. Sama sekali tidak. "Demikianlah pula, ketika aku datang kepadamu, saudara-saudara, aku tidak datang dengan kata-kata yang indah atau dengan hikmat untuk menyampaikan kesaksian Allah kepada kamu. Sebab aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan." (ay 1-2). Paulus menyadari bahwa jika ia bisa melakukan tugasnya, itu bukan karena kuat dan hebatnya sendiri, tapi semata-mata karena Tuhan yang memampukan. Tidak ada niat lain, selain memberitakan tentang keselamatan di dalam Kristus. Paulus sangat mengasihi Kristus. Ia tahu bahwa anugerah terbesar bagi dirinya datang ketika ia diselamatkan dari kematian kekal, keluar dari gelap untuk kemudian menjadi terang. Masa lalu Paulus sama sekali tidak membanggakan. Dengan segala perbuatannya di masa lalu, ia jelas mengarah kepada kebinasaan. Namun ternyata ia diselamatkan bahkan dipilih Tuhan untuk dipakai secara luar biasa. Paulus pasti sangat bersyukur karenanya, Dia berterimakasih kepada Yesus yang telah mati bagi dosa-dosanya, seperti halnya bagi dosa-dosa semua jemaat yang ia layani, termasuk pula bagi dosa-dosa kita hari ini. Dengan kata lain, Paulus sadar betul bahwa tanpa Kristus dia bukanlah siapa-siapa.
Haruskah kita malu dan terus menutup-nutupi kelemahan kita? Haruskah kita pura-pura tegar padahal kita tengah membutuhkan pertolongan? Paulus menyatakan seperti ini: "Tetapi jawab Tuhan kepadaku: "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku." (2 Korintus 12:9). Ia melanjutkan: "Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat." (ay 10). Kenyataannya adalah seperti itu. Seringkali dalam kelemahan dan keterbatasanlah kita justru merasakan betapa besar kuasa Tuhan. Hal itu tidak akan bisa kita rasakan ketika kita berada dalam situasi yang super nyaman tanpa masalah. Selain itu Tuhan pun bisa memakai segala kelemahan kita untuk pekerjaan besar. Jika melihat dari banyak tokoh Alkitab, kita akan segera tahu bahwa Tuhan tidak memakai orang-orang yang pintar pidato, para ahli, cendekiawan, orang-orang kaya, berpengaruh, raja, dan sebagainya, tapi seringkali Tuhan justru memakai orang yang bagi dunia tidak ada apa-apanya. Di tangan Tuhan, orang-orang biasa yang penuh kelemahan ini diubahkan menjadi sosok luar biasa yang pengaruhnya masih kita rasakan hingga hari ini. Bagaimana bisa demikian? Alkitab berkata demikian: "Sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya dari pada manusia dan yang lemah dari Allah lebih kuat dari pada manusia." (1 Korintus 1:25).
Siapapun kita yang punya banyak kelemahan dan keterbatasan ini, Tuhan bisa memakai itu semua. "Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti" (ay 27-28). Tuhan suka memakai orang-orang yang bodoh dan lemah bagi dunia, karena disanalah kuasa Allah akan dirasakan sangat nyata. Karenanya kita tidak perlu malu terhadap kelemahan kita, sebaliknya kita tidak boleh pula bermegah dengan kelebihan kita. It's a reminder, "supaya jangan ada seorang manusiapun yang memegahkan diri di hadapan Allah." (ay 29). Ingatlah bahwa kita memang terbatas dalam segala hal. Lebih dari segalanya, kita harus menyadari bahwa Tuhanlah yang memampukan segalanya, bukan karena kuat dan hebatnya diri kita. "Karena itu seperti ada tertulis: "Barangsiapa yang bermegah, hendaklah ia bermegah di dalam Tuhan." (1 Korintus 1:31).
Ada kalanya Tuhan mengijinkan kita untuk merasakan kelemahan kita, bukan bertujuan untuk menyakiti kita, tapi justru agar kuasaNya nyata pada diri kita. Mungkin kelemahan pada diri kita terdapat pada masalah fisik, seperti cacat, tidak kuat dan sebagainya, mungkin kita punya keterbatasan dalam hal kecerdasan atau kepintaran, mungkin kita punya masalah dengan psikis kita seperti trauma, kekecewaan, kepahitan dan sebagainya. Semua kelemahan ini seringkali menjadi faktor penghambat utama untuk maju. Atasi kelemahan yang bisa kita perbaiki, jangan rendah diri terhadap keterbatasan kita. Janganlah terus membiarkan diri anda tenggelam di dalamnya dan menjadikan kelemahan sebagai alasan untuk tidak berbuat apa-apa, dan jangan pula malu untuk mengakui itu di hadapan Tuhan. Akuilah dan rasakan bagaimana kuasa Tuhan mampu bersinar di atas kelemahan-kelemahan kita. Tidak perlu pula untuk menutupi kelemahan kita dan bersembunyi dibalik kelebihan kita agar terlihat hebat di mata orang. Jadilah diri sendiri, dan tunjukkan bahwa Tuhan bisa pakai kelemahan-kelemahan kita untuk hal-hal besar.
disadur dari : http://renungan-harian-online.blogspot.com
Justru dalam kelemahan kitalah kuasa Tuhan semakin sempurna dinyatakan
Justru dalam kelemahan kitalah kuasa Tuhan semakin sempurna dinyatakan