Kisah pelayanan misi di Asia Timur belumlah lengkap tanpa
membahas Karl Gutzlaff, yang menurut sejarawan Stephen Neill, "mendapat
banyak julukan -- orang suci, orang aneh, visioner, perintis sejati, dan penipu
ulung". Gutzlaff lahir di Jerman pada tahun 1803 dan bersekolah di Basel
dan Berlin. Pada awal usia 20 tahun, ia dikirim oleh Netherlands Missionary
Society sebagai misionaris di Indonesia.
Di sana, ia mulai bekerja dengan para
pengungsi Tiongkok, meskipun tanpa persetujuan dari lembaga pengirimnya, yang
akhirnya berujung pada kemundurannya dari lembaga tersebut setelah bergabung
selama dua tahun. Gutzlaff pun menjadi pelayan yang independen (tidak terikat
dengan organisasi mana pun).
Sebagai misionaris paruh waktu, Gutzlaff menikmati kebebasannya.
Dari Indonesia, dia pergi ke Bangkok, Thailand, di mana ia mengenakan pakaian
penduduk asli dan hidup seperti adat penduduk asli. Selama 3 tahun tinggal di
sana, dia dan istrinya menyadari menakjubkannya menerjemahkan seluruh Alkitab
ke dalam bahasa orang Siam dan sebagian Alkitab dalam bahasa Kamboja dan Laos.
Keberadaannya di Thailand tidak lama, karena istri dan bayi perempuannya
meninggal, juga karena dia sendiri menderita sakit.
Setelah meninggalkan Thailand pada tahun 1831, Gutzlaff memulai
perjalanannya di sepanjang pesisir Tiongkok dengan menggunakan kapal apa saja
yang bisa dia tumpangi (kapal pengangkut sampah atau bahkan obat-obatan
terlarang). Dalam perjalanan-perjalanan itu, yang menghantarkannya hingga
sejauh Tientsin dan Manchuria, serta perhentian singkat di Korea dan Formosa,
dia mengabarkan Injil, membagikan traktat, dan membagikan bagian-bagian
tertentu dari Alkitab, yang disuplai oleh Robert Morrison di Canton. Pada tahun
1833, setelah 2 tahun menyisir pantai, Gutzlaff mulai masuk ke wilayah
pedalaman dan kembali membagikan literatur serta berkhotbah. Pakaian Tiongkok
yang ia kenakan dan kefasihannya berbahasa Tionghoa, memudahkannya untuk
bergerak tanpa diketahui hingga pecahnya Perang Opium pada tahun 1839.
Selama Perang Opium, Gutzlaff, mengikuti jejak Robert Morrison,
melayani sebagai penerjemah untuk orang Inggris dan membantu menegosiasikan
Perjanjian Nanking pada tahun 1842. Setelah itu, dia membangun rumah di Hong
Kong dan dari situlah dia mulai merumuskan mimpinya untuk menjangkau seluruh
masyarakat Tiongkok dengan Injil. Rencananya adalah melatih warga lokal menjadi
penginjil dan mengirim mereka ke daerah pedalaman untuk berkhotbah dan
menyebarkan literatur. Tujuannya adalah untuk menginjili Tiongkok dalam satu
generasi. Dalam waktu 6 tahun, Gutzlaff memiliki lebih dari tiga ratus karyawan
lokal dan kesuksesannya fenomenal. Ribuan kitab Perjanjian Baru serta buku-buku
dan traktat yang tidak terhitung jumlahnya berhasil didistribusikan.
Orang-orang di berbagai tempat berkumpul untuk mendengarkan pesan Injil. Berita
yang paling luar biasa dari segala hal itu adalah bahwa tidak kurang dari 2.871
petobat dibaptis "dengan iman yang mantap". Hal ini merupakan sebuah
kesaksian yang menjadi mimpi setiap misionari dan merupakan suatu kisah sukses
yang sangat dinanti-nantikan oleh orang-orang Kristen. Surat-surat Gutzlaff
yang ditulis dengan terperinci memancarkan semangat yang membara sehingga
organisasi-organisasi misi dan orang-orang Kristen dari seluruh Eropa mengirimkan
dukungan dana.
Pada tahun 1849, setelah merekrut dua rekan dari Eropa, Gutzlaff
tiba di Eropa untuk membagikan kisah luar biasa tentang apa yang sedang Tuhan
lakukan di Tiongkok. Dia berhasil berkhotbah di seluruh kepulauan Britania dan
di seluruh benua tersebut. Kisahnya begitu menggetarkan hati, dan seperti
mimpi, sulit untuk dipercaya. Pada tahun 1850, ketika dia berada di Jerman,
kecemerlangannya hancur. Seluruh kerja kerasnya berubah menjadi suatu cerita
olok-olokan yang luar biasa yang dilakukan oleh para pekerjanya yang berasal
dari Tiongkok, yang kebanyakan tidak jujur. Literatur-literatur, bukannya
dibagikan, malah dijual ke percetakan, yang kemudian menjualnya kembali kepada
Gutzlaff yang mudah ditipu. Cerita pertobatan dan pembaptisan dikarang, dan
uang yang telah didonasikan dengan cepat mengalir ke pasar perdagangan opium.
Berita yang sama mengejutkannya datang Gutzlaff sendiri. Seperti
yang ditunjukkan oleh bukti-bukti yang ada, Gutzlaff sendiri sebenarnya
menyadari bahwa terdapat kecurangan sebelum dia meninggalkan Tiongkok untuk
melakukan perjalanan turnya ke Eropa. Harga diri rupanya mendorongnya untuk
melindungi nama baiknya dan mengabaikan bukti yang semakin menggunung. Setelah
segala kecurangan itu terbongkar, Gutzlaff kembali ke Tiongkok, bersumpah untuk
mengatur ulang pelayanannya. Namun, dia meninggal pada tahun 1851, reputasinya
masih ternoda. Meski begitu, bagi beberapa orang, dia tetap seorang pahlawan,
dan dari usaha-usaha misinya, lahirlah Chinese Evangelization Society, organisasi
yang mengirim Hudson Taylor ke Tiongkok pada tahun 1853.
Gutzlaff, lebih dari orang lainnya, memberikan pengaruh pada metode dan tujuan
penginjilan Taylor muda yang bersemangat, dan pada tahun-tahun berikutnya,
Taylor menyebutnya sebagai "kakek misi di pedalaman Tiongkok".
(t/Kristin)
TERIMAKASIH SUDAH BERKUNJUNG KE BLOG INI, SEMOGA ARTIKEL INI MENAMBAH WAWASAN & MEMBERIKAN MANFAAT BAGI KITA SEMUA YANG MEMBACANYA. JANGAN LUPA UNTUK BERKUNJUNG KEMBALI KARENA MASIH BANYAK ARTIKEL MENARIK LAINNYA YANG MENUNGGU UNTUK DIBACA OLEH PARA SOBAT SEMUANYA