Reny lahir dari keluarga yang cuek. Kedua orangtua Reny tidak terlalu memperhatikan kebutuhan emosional buah hati mereka. Perlakuan kasar dari sang ibu kerap diterimanya. Saat Reny menolak membantu ibunya, sang ibu pun tak segan-segan bertindak keras terhadap Reny. Seringkali Reny harus berlarian keliling kampung karena dikejar ibunya, dan setelah Reny tertangkap, pukulan demi pukulan pun harus ia terima. Tanpa ampun ibunya terus memukuli Reny
sampai meninggalkan bekas di tangan dan kakinya. Kesakitan fisik yang
dirasakannya tak sesakit perasaan hati yang harus ditanggungnya saat
itu, dipermalukan di depan umum.Sampai saat ini pun Reny masih dapat mengingat dengan jelas bagaimana ibunya kerapkali menghajar dirinya dengan sapu.
Penyesalan
kerapkali menghampiri hatinya saat itu. Segala pertanyaan berkecamuk di
dalam pikirannya, kenapa dirinya harus dilahirkan, kenapa orangtuanya
mempertahankan ia untuk tetap hidup dan bukan mengakhiri nyawanya saja
ketika ia masih bayi, dan berbagai perasaan lainnya memenuhi hati dan
pikiran Reny. Perlakuan kasar orangtuanya seakan belum cukup untuk menggores hati Reny. Di saat usia Reny masih sangat belia, Reny harus menuruti keinginan orangtuanya di mana hal itu sagat bertentangan dengan hati nuraninya.
Kelas
5 SD, pinangan datang dari salah seorang tetangga yang tinggal tak jauh
dari rumahnya. Menurut adat Jawa yang diemban kedua orangtuanya saat
itu, kalau ada pinangan datang berarti harus diterima meskipun anaknya
sendiri sebenarnya tidak suka. Reny sendiri benar-benar menolak pinangan dari tetangganya tersebut. Namun orangtua Reny
tetap ngotot untuk menikahkannya dengan seorang pria yang tidak
disukainya di usianya yang terbilang masih sangat belia kala itu.
Perasaan takut kepada ibunya akhirnya membuat Reny menyerah dan mengikuti kemauan ibunya.
Ancaman sang ibu membuat Reny tak berdaya. Menjelang detik-detik pernikahannya, Reny
harus merelakan waktu bermain dengan teman-temannya terampas dengan
paksa demi sang calon suami. Karena kedatangan calon suaminya, dengan
paksa sang ibu menarik Reny untuk pulang dan disuruh menyediakan minuman bagi calon suaminya. Ketidaksukaan Reny terhadap calon suaminya sudah ditunjukkannya dengan jelas, namun calon suaminya tetap gigih berniat menikahi Reny dengan harapan satu waktu nanti perasaan Reny terhadap dirinya akan berubah. Tak pernah terbayangkan oleh Reny ketika ia harus menikah di usia yang masih sangat muda. Kini Reny harus mengubur semua mimpi-mimpinya.
"Saya melihat teman-teman saya yang memakai seragam mau ke sekolah, saya benar-benar iri. Saat itu dendam
kepada orangtua saya kembali dibangkitkan, kenapa sih orangtua saya
benar-benar tidak mau mendengarkan apa yang menjadi keinginan anaknya.
Keinginan untuk berumahtangga benar-benar tak terlintas di pikiran saya
saat itu. Karena kemauan orangtua, karena terpaksa, akhirnya saya
jalani. Setelah menikah, saya benar-benar membenci orangtua saya,
terlebih lagi kepada suami saya," ujar Reny dengan raut muka penuh kepedihan.
Pernikahan tanpa ikatan cinta pun harus dijalani Reny. Hal itu membuat bayang-bayang kebebasan begitu kuat menguasai batinnya. Reny
tak pernah bisa menikmati kehidupan berumahtangga. Dari luar, orang
masih bisa melihat mereka hidup bersama tapi sesungguhnya hati Reny dan suaminya terpisah begitu jauh. Banyak malam Reny lewati dengan satu keinginan untuk pergi meninggalkan suaminya dan menemukan kebebasan, tapi Reny tak pernah berani untuk melakukan hal itu.
Keadaan ekonomi yang sulit membuat Reny dan suaminya harus mengikuti program transmigrasi ke Aceh. Di sana, Reny bertemu dengan seseorang yang akan membuat hidupnya bergairah kembali. Pria itu begitu memperhatikan Reny, sehingga Reny pun akhirnya menjalin hubungan gelap dengan pria tersebut.
Hubungan Reny dengan pria itu pun semakin dalam. Namun hubungan tersebut akhirnya tercium oleh suami Reny.
Hal itu membuat sang suami berang dan tak kuasa menahan amarah dan
nyawa laki-laki itu berada dalam ancaman. Jika tak dihalangi oleh warga
sekitar, parang suami Reny bisa saja menghabisi laki-laki tersebut. Di malam kejadian itu, setelah suasana emosi suaminya sedikit reda, Reny pun memutuskan untuk meninggalkan suaminya daripada harus terus terlibat keributan dalam rumahtangganya. Anak laki-laki Reny yang saat itu sedang tertidur lelap, ditinggalkan Reny begitu saja. Saat itu perasaan kasihan maupun keinginan untuk membatalkan kepergiannya tidak timbul sama sekali di hati Reny. Bagi Reny, itulah saat dirinya bisa menikmati kebebasan. Demi cinta dan kebebasan, akhirnya Reny pun pergi dengan teman prianya. Mereka pergi menuju kota Malang dan berharap kebahagiaan akan berpihak kepada mereka.
"Saya
lari sama dia itu tujuannya bukan untuk senang-senang, saya hanya ingin
berumahtangga, membina rumahtangga yang baik-baik, tidak ada kendala
apa-apa karena saya pikir hal itu dibangun atas dasar suka sama suka,"
kisah Reny.
Dengan dalih menawarkan pekerjaan yang cepat meghasilkan uang untuk biaya pernikahan, teman pria Reny tak tanggung-tanggung mendorong Reny ke jurang kekelaman. Dalam keluguannya, Reny tak menyangka sama sekali bahwa ia telah dijual kepada seorang mucikari. Reny
hanya berpikir bahwa ia dititipkan sementara di tempat itu sebelum
mereka menikah. Bahkan dengan polosnya ia berharap bahwa teman prianya
akan sering mengunjunginya hingga hari itu tiba, saat ia akan dijemput
dan mereka dapat hidup bersama. Reny tidak pernah membayangkan sama sekali pekerjaan yang harus ia lakoni selanjutnya.
Keluguan dan kepolosan Reni akhirnya membawa Reny
ke dalam kehidupan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Saat ia
menjalankan tugas pertamanya untuk melayani laki-laki, di situlah baru Reny menyadari bahwa ternyata dirinya telah dijual. Reny benar-benar merasa terhina. Segala perjuangan dan pengorbanannya ternyata berakhir dengan hancurnya harga dirinya seutuhnya.
"Waktu
itu saya benar-benar tidak tahu siapa saya. Saya tidak tahu jati diri
saya itu siapa. Sampai akhirnya saya menangis di situ. Saya menangis
karena ingat dengan pacar saya itu, kok saya dibawa pergi hanya untuk
jadi seperti ini? Rasanya waktu itu kalau sampai saya ketemu dengan dia,
rasanya ingin saya bunuh... saya benar-benar menyesal pernah bertemu
dengan dia," kisah Reny.
Pernikahan dini membuat batin Reny
teraniaya. Harapannya untuk hidup bahagia dengan seorang pria pun
kandas tak berbekas. Akhirnya memuaskan nafsu liar dari para lelaki
hidung belang pun tak dapat ia hindari. Walau awalnya Reny
merasa hina, namun gemerlap dunia malam telah menghanyutkan dirinya ke
dalam arus kebahagiaan yang semu. Pada saat itu adalah hal mudah bagi Reny untuk mendapatkan uang. Merasa dirinya sudah hancur dan kehilangan harga diri, Reny pun akhirnya memutuskan untuk meneruskan cara hidupnya yang kelam. Reny merasakan kebebasan tanpa ada seorang pun yang menghalangi apa pun yang ingin dilakukannya. Reny mulai menikmati dan merasakan kebahagiaan dengan kehidupan baru yang dijalaninya.
Profesi sebagai wanita malam benar-benar telah melekat dalam diri Reny. Namun tiba-tiba, ada sesuatu yang mulai mengusik hatinya. Kebosanan dan kejenuhan mulai menghinggapi Reny. Di kala rasa itu datang, terpikir oleh Reny untuk menghentikan kehidupan malamnya. Kembali Reny ingin membina rumahtangga. Akhirnya Reni
bertemu dengan seorang pria yang kemudian menjadi suaminya. Mereka pun
dikaruniai seorang anak perempuan. Namun hubungan ini pun tak luput dari
masalah yang akan mengancam keutuhan rumahtangga mereka.
Reny menemukan selembar foto yang menggambarkan suaminya sedang menggendong seorang wanita. Kekalutan menyelimuti perasaan Reny saat itu. Keinginan untuk bunuh diri tiba-tiba datang menyergapnya. Bahkan Reny terpikir untuk mengajak putrinya, Raurent, mati bersama. Reny benar-benar merasakan kekecewaan yang mendalam kepada suaminya.
"Dulu
saya sudah disakiti dari keluarga, istilahnya saya harus menjalani
hidup yang tidak enak. Lalu sekarang, kehidupan saya juga malah jadi
seperti ini. Hati saya panas, benar-benar kalut. Saya mau minta tolong
kepada siapa? Rasanya saya itu benar-benar sendirian. Hidup saya ini
rasanya tidak ada artinya. Saya benar-benar hanya ingin mati," ujar Reny.
Batin Reny
bagaikan tercabik-cabik sembilu. Dan ia tak kuasa lagi menahan
penderitaan yang begitu menekan hidupnya. Namun tiba-tiba, sebuah sinar
menyinari wajah Reny. Saat itu Reny hanya mendengar sebuah suara yang mengatakan bahwa dirinya harus mempunyai pegangan, tapi Reny sama sekali tidak mengerti artinya.
Saat Reny masih dilingkupi kegalauan, tak lama kemudian suami Reny pun pulang. Tanpa merasa bersalah, suami Reny malah balik memarahi Reny. Sakit hati Reny yang begitu dalam membuahkan dendam yang membara dalam hatinya. Hasrat Reny
untuk menghabisi nyawa sang suami pun tak terbendung lagi. Tapi rasa
takut akan akibat yang ditimbulkan bila ia membunuh suaminya,
mengurungkan niatnya tersebut. Suami Reny pun akhirnya menawarkan perpisahan dengan dirinya. Walaupun sakit hati, Reny tetap menerima keputusan suaminya tanpa melakukan tindakan balas dendam apa pun.
Tak tahu harus mengadu kemana, Reny
teringat akan kakak iparnya yang sering dikunjungi oleh teman-temannya.
Kepada salah seorang tante yang sering datang mengunjungi kakak
iparnya, secara sekilas Reny menceritakan tentang suaminya. Sang tante hanya meminta Reny menyerahkan semuanya kepada Tuhan dan Tuhan pasti akan tolong. Merasa ada orang lain yang perduli akan permasalahan hidupnya, Reny pun mengambil langkah yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Reny mulai datang untuk beribadah ke gereja.
Saat tiba di tempat ibadah, lantunan lagu yang lembut membuat Reny terhanyut di dalamnya dan tiba-tiba menyentuh lubuk hatinya. Air mata mengucur dengan deras di wajah Reny tanpa dapat dibendung lagi. Reny
menangis karena melalui lagu yang didengarnya, ia menyadari bahwa Tuhan
mau mengampuni dirinya meskipun ingatan akan pekerjaan yang pernah
dilakoninya dulu begitu memenuhi pikirannya. Reny
mengingat semua perbuatan dosa yang pernah dilakukannya, bagaimana ia
disakiti keluarganya, disakiti orang lain bahkan oleh seseorang yang ia
cintai dengan sepenuh hati, Reny benar-benar hancur hati mendengar lagu pujian saat itu. Saat itulah Reny menyerahkan hatinya sepenuhnya kepada Tuhan.
"Tuhan,
saya mau masuk hadirat-Mu dengan hati yang sungguh. Di situ saya
merasakan damai yang sesungguhnya. Rasanya hati saya seperti disiram,
rasanya adem, rasanya enak," ujar Reny menceritakan awal pertemuannya secara pribadi dengan Tuhan.
Kehidupan Reny lambat laun mengalami perubahan yang berarti. Sampai akhirnya Reny pun mengambil tindakan yang akan memerdekakan hidupnya.
"Saya
tadinya tidak bisa mengampuni orang-orang yang sudah menyakiti saya,
apalagi orangtua saya suami saya. Lalu teman-teman mendoakan saya, dan
dengan mulut saya mengaku di hadapan Tuhan, "Tuhan, saya mau
mengampuni'. Rasanya ada sesuatu yang tercabut dari hati saya, lega
sekali" kisah Reny akan proses saat ia memutuskan untuk mengampuni orang-orang yang telah menyakiti hatinya.
Akhirnya Reny pun mengubur semua masa lalunya yang kelam dan ia memulai lembaran hidupnya yang baru.
"Saat ini tidak ada yang menguasai hidup saya selain Yesus, Tuhan yang saya tahu adalah Juruselamat saya," tambah Reny.
"Aku tidak perduli dengan masa lalunya mama. Aku menerima mama apa adanya karena aku sayang sama mama," ujar Rourentsia, putri Reny yang sudah beranjak remaja.
Rasa penyesalan yang mendalam masih tersisa dalam diri Reny karena ia telah meninggalkan anak laki-lakinya dan Reny pun tak kuasa untuk mengungkapkan curahan hatinya. Saat ini yang diinginkan Reny hanyalah dapat bertemu kembali dengan anak laki-lakinya yang terus dirindukannya selama ini.
Sumber Kesaksian:
Reny Agustin
DISADUR DARI : http://www.jawaban.com