(Mazmur
107:30)
“Dituntun-Nya mereka ke pelabuhan kesukaan mereka”
Mazmur 107 menceritakan tentang “orang-orang yang mengarungi laut dengan kapal-kapal” (ayat 23). Sepanjang perjalanan mereka di laut, mereka melihat Allah sebagai Pribadi yang berada di balik badai yang bergelora dan Pribadi yag menenangkan badai tersebut. Di dunia kapal layar, ada dua ketakutan besar, yaitu angin ribut yang menakutkan dan tidak ada angin sama sekali.
Di dalam puisi yang berjudul ‘The Rime of the Ancient Mariner’, penyair Inggris, Samuel Taylor Celeridge (1772-1834) menggambarkan badai dan kesunyian di laut. Dua kalimat dari puisi tersebut telah sangat terkenal. “Air, air di mana-mana. Dan tak setetes pun dapat menghapus dahaga.”
Pada posisi garis lintang tertentu, angin benar-benar berhenti bertiup sehingga kapal layar tidak bergerak. Kapten dan awak kapal “terjebak” tanpa bantuan. Akhirnya, tanpa adanya angin yang bertiup, persediaan air mereka pun habis.
Kadang kala kehidupan menuntun kita untuk bertahan di dalam badai. Namun pada kesempatan yang lain, kita juga diuji di dalam kejemuan. Kita mungkin merasa terjebak. Sesuatu yang sangat kita idam-idamkan, sama sekali tidak dapat kita raih. Akan tetapi, sekalipun kita berada di dalam keadaan krisis atau berada di sebuah tempat di mana “angin” rohani telah diambil dari pelayaran kita, sangatlah penting bagi kita untuk mempercayai tuntunan Allah. Tuhan yang bertakhta atas situasi yang berubah-ubah, pada akhirnya akan menuntun kita menuju pelabuhan kesukaan kita (Mazmur 107:30).
Allah menentukan perhentian sekaligus perjalanan kita.
“Dituntun-Nya mereka ke pelabuhan kesukaan mereka”
Mazmur 107 menceritakan tentang “orang-orang yang mengarungi laut dengan kapal-kapal” (ayat 23). Sepanjang perjalanan mereka di laut, mereka melihat Allah sebagai Pribadi yang berada di balik badai yang bergelora dan Pribadi yag menenangkan badai tersebut. Di dunia kapal layar, ada dua ketakutan besar, yaitu angin ribut yang menakutkan dan tidak ada angin sama sekali.
Di dalam puisi yang berjudul ‘The Rime of the Ancient Mariner’, penyair Inggris, Samuel Taylor Celeridge (1772-1834) menggambarkan badai dan kesunyian di laut. Dua kalimat dari puisi tersebut telah sangat terkenal. “Air, air di mana-mana. Dan tak setetes pun dapat menghapus dahaga.”
Pada posisi garis lintang tertentu, angin benar-benar berhenti bertiup sehingga kapal layar tidak bergerak. Kapten dan awak kapal “terjebak” tanpa bantuan. Akhirnya, tanpa adanya angin yang bertiup, persediaan air mereka pun habis.
Kadang kala kehidupan menuntun kita untuk bertahan di dalam badai. Namun pada kesempatan yang lain, kita juga diuji di dalam kejemuan. Kita mungkin merasa terjebak. Sesuatu yang sangat kita idam-idamkan, sama sekali tidak dapat kita raih. Akan tetapi, sekalipun kita berada di dalam keadaan krisis atau berada di sebuah tempat di mana “angin” rohani telah diambil dari pelayaran kita, sangatlah penting bagi kita untuk mempercayai tuntunan Allah. Tuhan yang bertakhta atas situasi yang berubah-ubah, pada akhirnya akan menuntun kita menuju pelabuhan kesukaan kita (Mazmur 107:30).
Allah menentukan perhentian sekaligus perjalanan kita.