Sundar Singh lahir pada tahun 1889 dan berasal dari bangsa Sikh
di negara bagian Patiala,India Utara. Bangsa Sikh yang menolak ajaran agama
Hindu dan agama Islam, telah menjadi agama yang menonjol pada abad keenam belas
dengan ajaran agama mereka sendiri.
Sewaktu kecil, Ibu Sundar Singh sering membawanya belajar ke
seorang sadhu atau seorang petapa suci, namun ibunya juga pernah membawanya ke
sekolah misi Kristen di mana dia bisa belajar bahasa Inggris. Saat dia berusia
14 tahun, ibunya meninggal dan sempat membuat dia putus asa. Ia menyerang para
utusan Injil, menganiaya para petobat baru, dan mengejek iman mereka. Sebagai
wujud dari perlawanan kepada orang Kristen, dia membakar Alkitab di depan
kawan-kawannya. Pada malam yang sama, Sundar Singh memutuskan bunuh diri di
atas rel kereta api.
DIRACUN
Akan tetapi, sebelum subuh tiba, ia membangunkan ayahnya dan
menyatakan bahwa ia telah melihat Yesus Kristus dalam suatu visi dan mendengar
suara-Nya. Sejak saat itu ia menyatakan akan mengikut Kristus ke mana pun juga.
Masih berusia belum lima belas tahun, ia sudah menyerahkan hidupnya kepada
Kristus dan selama dua puluh lima tahun ia bersaksi untuk Tuhannya dengan penuh
keberanian. Namun proses pemuridan remaja ini langsung mengalami ujian ketika
ayahnya meminta serta menuntutnya untuk melepaskan "pertobatannya"
yang absurd ini. Ketika ia menolak, Sher Singh memberikan pesta perpisahan
kepada anak laki-lakinya, kemudian menolak dan mengusirnya dari keluarganya.
Beberapa jam sesudah itu, Sundar menyadari bahwa makanan yang baru disantapnya
telah dibubuhi racun dan hidupnya diselamatkan berkat pertolongan sebuah
masyarakat Kristen yang tinggal di dekatnya.
Pada ulang tahunnya yang keenam belas ia dibaptis di depan umum
sebagai seorang Kristen di halaman gereja di Simla, sebuah kota yang terletak
jauh di kaki pegunungan Himalaya.
Untuk beberapa waktu lamanya ia berdiam di rumah perawatan
penderita kusta di Sabathu, tak jauh dari Simla, sambil melayani pasien
penyakit kusta. Tempat itu tetap menjadi tempat yang disenanginya dan ia selalu
kembali ke sana semenjak ia dibaptis. Di bulan Oktober 1906, ia mulai
mengadakan perjalanan, tetapi dengan suatu cara yang berbeda.
Ia berjalan dengan perawakan seorang remaja yang tinggi, tampan,
tegap, sambil mengenakan jubah berwarna kuning dan turban. Setiap orang memandangnya
sementara ia berjalan. Jubah kuning itu merupakan pakaian seragam seorang sadhu
Hindu yang secara tradisional merupakan seorang petapa yang mengabdikan
hidupnya kepada para dewa, yang berjalan sambil meminta sedekah di jalan atau
duduk, tak bersuara, menjauh dan sering berpakaian kotor, sambil bermeditasi di
hutan atau tempat terpencil. Sundar Singh yang masih muda telah memilih cara
seorang sadhu, tetapi ia seorang sadhu yang berbeda.
"Saya tidak layak mengikuti langkah Tuhan saya,"
katanya, "tetapi, seperti Dia, saya tidak menginginkan rumah, harta.
Seperti Dia, saya akan hidup di jalanan, sambil berbagi kehidupan dengan rakyat
saya, makan dengan mereka yang memberi tumpangan, dan menceritakan kepada
setiap orang tentang kasih Allah."
KAKI YANG BERDARAH
Saat kembali ke kampungnya, dia mendapat sambutan yang hangat.
Di usia enam belas tahun, tubuhnya sudah tidak kuat. Sadhu pergi ke utara
melalui Punjab, melewati Bannibal Pass dan masuk ke Kashmir dan kemudian
kembali melalui Afganistan dan ke daerah utara barat dan Balukhistan. Tubuhnya
yang kurus dan jubah kuningnya hampir tak dapat melindunginya dari dinginnya
salju dan kakinya luka-luka karena medan yang sulit dan berat.
Dalam waktu singkat, sebuah masyarakat Kristen di utara
menyebutnya sebagai "rasul dengan kaki berdarah". Ia pernah dirajam,
dipenjara, dikunjungi oleh seorang gembala yang berbicara dengan keintiman yang
aneh tentang Yesus dan ditinggalkan di luar gubuknya dengan ditemani seekor
ular cobra. Pergumulan dengan kekuatan mistik, aniaya, dan sambutan hangat,
merupakan sebagian dari pengalaman hidupnya di masa mendatang.
Dari desa-desa di bukit Simla, terlihat dari kejauhan jajaran
yang panjang dari pegunungan Himalaya yang ditutupi salju abadi dan puncak
Nanga Perbat yang kemerah-merahan. Di balik itu terletak Tibet, daerah agama
Budha yang tertutup dan sejak lama sulit ditembus para utusan Injil dengan
kabar Injil. Sejak ia dibaptiskan, Tibet telah menarik perhatian Sundar dan
pada tahun 1908, pada usia sembilan belas tahun, ia menyeberangi garis depan
Tibet untuk pertama kalinya. Setiap orang asing yang memasuki daerah tertutup
yang fanatik ini, yang didominasi oleh agama Budha dan penyembah setan,
menghadapi risiko teror dan kematian. Singh mengambil risiko tersebut dengan
mata dan hati yang terbuka lebar. Keadaan rakyat di sana mengejutkannya. Rumah
yang hampir tanpa lubang udara dan rakyatnya sangat miskin. Ia sendiri dirajam
ketika ia sedang mandi karena mereka percaya bahwa "orang suci tidak
pernah mandi". Makanan sulit diperoleh dan ia bisa bertahan hidup dengan
menyantap biji gandum yang dipanggang. Di mana-mana terjadi kekerasan dan ini
baru "Tibet sebelah bawah" dan daerah perbatasan. Sundar kembali ke
Sabathu dan bertekad untuk kembali lagi tahun depan.
SECANGKIR AIR
Kemudian, dia mengunjungi Palestina untuk mengingat kembali
beberapa kejadian dalam kehidupan Yesus. Pada tahun 1908 ia pergi ke Bombay,
sambil berharap untuk menaiki kapal laut yang menyenangkan. Tetapi ia
dikecewakan karena pemerintah menolak memberi izin dan ia harus kembali ke
utara. Justru pada perjalanan kembali ini ia tiba-tiba menyadari dilema dasar
yang dihadapi utusan Injil di India.
Seorang brahmana jatuh pingsan di sebuah kereta yang panas dan
penuh sesak dan pada stasiun berikutnya, seorang kepala stasiun berkebangsaan
Inggris-India datang sambil membawa secangkir air dari kamar tunggu. Brahmana
itu (kasta tertinggi dalam agama Hindu) menolaknya mentah-mentah. Ia
membutuhkan air, tetapi ia hanya dapat meminumnya dari cangkirnya sendiri.
Ketika cangkirnya diisi air dan ia meminumnya, nyawanya selamat. Dengan cara
yang sama, Sundar Singh menyadari, India tidak akan menerima Injil Yesus
Kristus yang disebarkan dengan gaya Barat secara luas. Itulah sebabnya ia kini
menyadari bahwa banyak pendengar memberi respons kepadanya dalam jubah seorang
sadhu.
Pada tahun 1909 ia dibujuk untuk mulai mengikuti latihan bagi
pelayanan Kristen di Sekolah Tinggi Anglikan di Lahore. Sejak awal ia mendapati
dirinya tersiksa oleh perlakuan sesama siswa karena berpenampilan
"berbeda" dan juga karena bersikap terlalu yakin. Tahapan ini
berakhir ketika pemimpin siswa mendengar Singh mendoakannya dengan ucapan yang
penuh kasih. Tetapi ketegangan lain tetap hadir. Sebagian besar dari pelajaran
di sekolah kelihatannya tidak relevan dengan berita Injil yang dibutuhkan
India, dan kemudian, sementara pelajaran hampir berakhir, kepala sekolah
menyatakan bahwa ia harus melepaskan jubah sadhunya dan mengenakan pakaian yang
"sopan" yang biasa dipakai pendeta Anglikan di Eropa; menggunakan
tata ibadah Anglikan yang formal; menyanyikan lagu rohani dalam bahasa Inggris;
dan tidak pernah berkhotbah ke luar tanpa izin khusus. Ia bertanya, Tidak boleh
pergi lagi ke Tibet? Bagi Sundar, hal itu merupakan penolakan terhadap
panggilan Allah dan belum pernah terpikirkan sebelumnya.
Dengan perasaan sedih yang mendalam, ia meninggalkan Sekolah
Alkitab, masih berpakaian jubah kuningnya, dan pada tahun 1912 mulai perjalanan
tahunannya ke Tibet sementara salju mulai mencair di Pegunungan Himalaya.
KISAH-KISAH YANG LUAR BIASA
Kisah-kisah dari pengalamannya sangat mengherankan dan luar
biasa. Memang ada yang yang bersikeras mengatakan bahwa kisah-kisah itu bernada
mistis dan bukan kisah nyata. Pada tahun 1912, ia kembali dan menceritakan
bahwa ia telah bertemu dengan sorang petapa Kristen yang berusia tiga ratus
tahun di sebuah gua di pegunungan-Maharishi dari Kailas -- yang bersekutu
selama tiga minggu bersamanya. Kisah lain lebih masuk akal, tetapi ada juga
yang lebih mengerikan. Tubuhnya pernah diikat dengan kulit yak (sebangsa kerbau
di Tibet) yang masih basah dan dijemur sampai mati, tubuhnya pernah diikatkan
pada sebuah jubah yang penuh dengan lintah dan kalajengking supaya menghisap
darahnya, tubuhnya pernah diikat pada sebuah pohon sebagai umpan untuk binatang
buas. Namun dalam semua kejadian ini, ia telah diselamatkan oleh "Sunnyasi
Mission" - pengikut rahasia Yesus yang memakai ciri orang Hindu, yang
menurutnya ada di seluruh India.
Apakah ia berhasil memenangkan banyak jiwa dalam perjalanannya
yang berbahaya ke Tibet tak seorang pun yang tahu dengan pasti. Bagi orang
Tibet, agama satu-satunya hanyalah Budha atau tidak sama sekali. Memberitakan
kabar tentang Yesus sama dengan bunuh diri. Tetapi keberanian Sadhu dalam
berkhotbah bukanlah tidak menghasilkan sesuatu.
BERGUMUL DENGAN IBLIS
Sementara Sundar memasuki usia dua puluh tahun, pelayannya
menjadi semakin luas, dan lama sebelum ia memasuki usia tiga puluh tahun, nama
dan gambarnya sudah dikenal oleh dunia Kristen di seluruh dunia. Ia menjelaskan
bahwa mempertahankan sebuah visi sama dengan bergumul dengan Iblis, tetapi
sebenarnya pendekatannya manusiawi, sederhana, dan rendah hati, selain senang
bergurau dan mencintai alam.
Semua sifat ini ditambah dengan ilustrasi sederhana yang
diambilnya dari kehidupan sehari-hari, membuat pesan yang disampaikannya
memberikan dampak kuat. Banyak orang berkata, "Ia bukan hanya serupa
seperti Yesus, tetapi juga berbicara seperti Yesus." Namun semua
pembicaraan dan khotbahnya memancar dari saat teduh yang mendalam setiap pagi
dini hari, terutama tentang kitab-kitab Injil.
Pada tahun 1918 ia mengadakan perjalanan jauh sampai ke India
Selatan dan Ceylon, dan tahun berikutnya ia diundang mengunjungi Myanmar,
Malaysia, Tiongkok, dan Jepang. Beberapa kisah dari perjalanannya sama anehnya
seperti perjalannnya ke Tibet. Ia memiliki kuasa mengatasi binatang liar,
seperti macan tutul yang akan menerkamnya ketika ia sedang berdoa dan kemudian
ia membungkukkan tubuhnya dan mengusap-usap kepalanya. Ia memiliki kuasa
mengalahkan kejahatan, seperti ahli sihir yang mencoba menghipnotisnya di
kereta api dan menjelek-jelekkan Alkitab yang ada dalam saku bajunya. Ia
memiliki kuasa mengusir penyakit, walaupun ia tak mau membanggakan karunia
penyembuhannya.
Sudah cukup lama Sundhar ingin mengunjungi Inggris dan
kesempatan tersebut tiba ketika ayahnya yang sudah lanjut, Sher Singh, datang
mengatakan kepadanya bahwa ia juga telah menjadi Kristen dan ingin memberinya
uang untuk ongkos perjalanannya ke Inggris. Ia mengunjungi negara Barat dua
kali, mengadakan perjalanan ke Inggris, Amerika Serikat, dan Australia pada
tahun 1920, dan sekali lagi ke Eropa pada tahun 1922.
Ia disambut oleh orang-orang Kristen dengan berbagai latar
belakang dan tradisi dan perkataannya menyelidik hati mereka yang saat itu
sedang menghadapi pasca Perang Dunia I dan kelihatannya memiliki sikap yang
dangkal terhadap hidup. Sundhar terkejut melihat bahaya materialisme,
kekosongan hidup, sikap tak beragama yang ditemukannya di mana-mana, jauh
berbeda dengan kesadaran orang Asia terhadap kehadiran Allah, betapa pun
terbatasnya hidup mereka. Setelah kembali ke India ia melanjutkan pelayannya,
walaupun ia sadar bahwa tubuhnya semakin lemah.
KRISTUS DI JALANAN INDIA
Karunianya, daya tarik pribadinya, hubungan pribadinya dengan
Kristus sementara ia menyajikan Injil kepada rakyat India mungkin telah
memberikan Sundar Singh suatu posisi kepemimpinan yang unik dalam gereja India.
Tetapi sampai akhir hidupnya ia tetap menjadi seseorang yang tidak mencari
keuntungan bagi dirinya, tetapi hanya kesempatan untuk menawarkan Kristus
kepada setiap orang. Ia tidak masuk dalam denominasi apa pun dan tidak mencoba
untuk memulai suatu aliran sendiri, walaupun ia bersekutu dengan bermacam-macam
orang Kristen. Ia hidup untuk memperkenalkan Kristus di jalan-jalan di India.
Pada tahun 1923 Sundar Singh melakukan perjalanan musim panasnya
yang terakhir ke Tibet dan ketika kembali ia sangat lelah. Perjalanan
khotbahnya ke mana-mana tempat jelas sudah berakhir dan pada tahun-tahun
berikutnya, di rumahnya sendiri atau di rumah teman-temannya di bukit Simla ia
menghabiskan waktunya untuk merenung, bersekutu, dan menulis.
Pada tahun 1929, walaupun ditentang oleh teman-temannya, Sundar
bertekad untuk melakukan perjalanan terakhir ke Tibet. Pada bulan April ia
sampai di Kalka, sebuah kota kecil di bawah Simla, seseorang yang menjadi tua
sebelum waktunya dalam jubah kuning ada di antara para peziarah dan orang suci
yang memulai perjalanan mereka menuju salah satu tempat suci orang Hindu
beberapa mil dari tempat itu. Ke mana ia pergi sejak saat itu tak diketahui
orang. Apakah ia jatuh dari jalan setapak, mati kelelahan, atau berhasil
melewati gunung-gunung, tetap menjadi suatu misteri. Itulah penampilan Sundar
Singh yang terakhir kalinya.
Tetapi ingatan tentang dirinya tetap dikenang dan ia tetap
menjadi salah satu tokoh yang paling hebat dan kuat dalam perkembangan dan
sejarah gereja Kristus di India.
Sumber: John Woodbridge, ed., 'More Than Conquerors:
Portraits of Believer from All Walks of Life', (Chicago: Moody Press, 1992).
TERIMAKASIH SUDAH BERKUNJUNG KE BLOG INI, SEMOGA ARTIKEL INI MENAMBAH WAWASAN & MEMBERIKAN MANFAAT BAGI KITA SEMUA YANG MEMBACANYA. JANGAN LUPA UNTUK BERKUNJUNG KEMBALI KARENA MASIH BANYAK ARTIKEL MENARIK LAINNYA YANG MENUNGGU UNTUK DIBACA OLEH PARA SOBAT SEMUANYA