Bai Fang Li merupakan seorang yang
istimewa. Istimewa bukan karena kedudukan dan harta, istimewa bukan karena
kemewahan dan jabatannya. Namun istimewa karena apa yang ada di hatinya, yaitu
kedermawanan.
Tentu kita kenal dengan Oprah
Winfrey. Jika dia menyumbang ratusan dan ribuan dolar, tentu kita kagum namun
tidaklah terkejut. Mungkin juga rajanya microsoft, Bill Gates yang mendermakan
jutaan dolar, kita juga barangkali menganggap hal hebat yang biasa saja. Namun
saat kita diperlihatkan kedermawanan dari orang yang dalam kesusahan, itu
adalah hal yang tentunya mengetuk hati kita. Dibawah ini adalah cerita
tentang Bai Fang Li, mari kita simak bersama….
————–
BAI FANG LI adalah seorang tukang
becak. Seluruh hidupnya dihabiskankan di atas sadel becaknya, mengayuh dan
mengayuh untuk memberi jasanya kepada orang yang naik becaknya. Mengantarkan
kemana saja pelanggannya menginginkannya, dengan imbalan uang sekedarnya.
Tubuhnya tidaklah perkasa.
Perawakannya malah tergolong kecil untuk ukuran becaknya atau orang-orang yang
menggunakan jasanya. Tetapi semangatnya luar biasa untuk bekerja. Mulai jam
enam pagi setelah melakukan rutinitasnya untuk bersekutu dengan Tuhan. Dia melanglang
buana dijalanan, di atas becaknya untuk
mengantar para pelanggannya. Dan ia akan mengakhiri kerja kerasnya setelah jam
delapan malam.
Para pelanggannya sangat menyukai
Bai Fang Li, karena ia pribadi yang ramah dan senyum tak pernah lekang dari
wajahnya. Dan ia tak pernah mematok berapa orang harus membayar jasanya. Namun
karena kebaikan hatinya itu, banyak orang yang menggunakan jasanya membayar
lebih. Mungkin karena tidak tega, melihat bagaimana tubuh yang kecil malah tergolong
ringkih itu dengan nafas yang ngos-ngosan (apalagi kalau jalanan mulai
menanjak) dan keringat bercucuran berusaha mengayuh becak tuanya.
Bai Fang Li tinggal disebuah gubuk
reot yang nyaris sudah mau rubuh, di daerah yang tergolong kumuh, bersama dengan
banyak tukang becak, para penjual asongan dan pemulung lainnya. Gubuk itupun
bukan miliknya, karena ia menyewanya secara harian. Perlengkapan di gubuk itu
sangat sederhana. Hanya ada sebuah tikar tua yang telah robek-robek
dipojok-pojoknya, tempat dimana ia biasa merebahkan tubuh penatnya setelah
sepanjang hari mengayuh becak.
Gubuk itu hanya merupakan satu ruang
kecil dimana ia biasa merebahkan tubuhnya beristirahat, diruang itu juga ia
menerima tamu yang butuh bantuannya, diruang itu juga ada sebuah kotak dari
kardus yang berisi beberapa baju tua miliknya dan sebuah selimut tipis tua yang
telah bertambal-tambal. Ada sebuah piring seng comel yang mungkin diambilnya
dari tempat sampah dimana biasa ia makan, ada sebuah tempat minum dari kaleng.
Di pojok ruangan tergantung sebuah lampu templok minyak tanah, lampu yang biasa
dinyalakan untuk menerangi kegelapan di gubuk tua itu bila malam telah
menjelang.
Bai Fang Li tinggal sendirian
digubuknya. Dan orang hanya tahu bahwa ia seorang pendatang. Tak ada yang tahu
apakah ia mempunyai sanak saudara sedarah. Tapi nampaknya ia tak pernah merasa
sendirian, banyak orang yang suka padanya, karena sifatnya yang murah hati dan
suka menolong.Tangannya sangat ringan menolong orang yang membutuhkan
bantuannya, dan itu dilakukannya dengan sukacita tanpa mengharapkan pujian atau
balasan.
Dari penghasilan yang diperolehnya
selama seharian mengayuh becaknya, sebenarnya ia mampu untuk mendapatkan
makanan dan minuman yang layak untuk dirinya dan membeli pakaian yang cukup bagus
untuk menggantikan baju tuanya yang hanya sepasang dan sepatu bututnya yang
sudah tak layak dipakai karena telah robek. Namun dia tidak melakukannya,
karena semua uang hasil penghasilannya disumbangkannya kepada sebuah Yayasan
sederhana yang biasa mengurusi dan menyantuni sekitar 300 anak-anak yatim piatu
miskin di Tianjin. Yayasan yang juga mendidik anak-anak yatim piatu melalui
sekolah yang ada.
Hatinya sangat tersentuh ketika
suatu ketika ia baru beristirahat setelah mengantar seorang pelanggannya. Ia
menyaksikan seorang anak lelaki kurus berusia sekitar 6 tahun yang yang tengah
menawarkan jasa untuk mengangkat barang seorang ibu yang baru berbelanja. Tubuh
kecil itu nampak sempoyongan mengendong beban berat dipundaknya, namun terus
dengan semangat melakukan tugasnya. Dan dengan kegembiraan yang sangat jelas
terpancar dimukanya, ia menyambut upah beberapa uang recehan yang diberikan
oleh ibu itu, dan dengan wajah menengadah ke langit bocah itu berguman, mungkin
ia mengucapkan syukur pada Tuhan untuk rezeki yang diperolehnya hari itu.
Beberapa kali ia perhatikan anak
lelaki kecil itu menolong ibu-ibu yang berbelanja, dan menerima upah uang
recehan. Kemudian ia lihat anak itu beranjak ketempat sampah, mengais-ngais
sampah, dan waktu menemukan sepotong roti kecil yang kotor, ia bersihkan
kotoran itu, dan memasukkan roti itu kemulutnya, menikmatinya dengan nikmat
seolah itu makanan dari surga.
Hati Bai Fang Li tercekat melihat
itu, ia hampiri anak lelaki itu, dan berbagi makanannya dengan anak lelaki itu.
Ia heran, mengapa anak itu tak membeli makanan untuk dirinya, padahal uang yang
diperolehnya cukup banyak, dan tak akan habis bila hanya untuk sekedar membeli
makanan sederhana.
“Uang yang saya dapat untuk makan
adik-adik saya….” jawab anak itu.
“Orang tuamu dimana…?” tanya Bai
Fang Li.
“Saya tidak tahu…., ayah ibu saya
pemulung…. Tapi sejak sebulan lalu setelah mereka pergi memulung, mereka tidak
pernah pulang lagi. Saya harus bekerja untuk mencari makan untuk saya dan dua
adik saya yang masih kecil…” sahut anak itu.
Bai Fang Li minta anak itu
mengantarnya melihat ke dua adik anak lelaki bernama Wang Ming itu. Hati Bai
Fang Li semakin merintih melihat kedua adik Wang Fing, dua anak perempuan kurus
berumur 5 tahun dan 4 tahun. Kedua anak perempuan itu nampak menyedihkan
sekali, kurus, kotor dengan pakaian yang compang camping.
Bai Fang Li tidak menyalahkan kalau
tetangga ketiga anak itu tidak terlalu perduli dengan situasi dan keadaan
ketiga anak kecil yang tidak berdaya itu, karena memang mereka juga terbelit
dalam kemiskinan yang sangat parah, jangankan untuk mengurus orang lain,
mengurus diri mereka sendiri dan keluarga mereka saja mereka kesulitan.
Bai Fang Li kemudian membawa ke tiga
anak itu ke Yayasan yang biasa menampung anak yatim piatu miskin di Tianjin.
Pada pengurus yayasan itu Bai Fang Li mengatakan bahwa ia setiap hari akan
mengantarkan semua penghasilannya untuk membantu anak-anak miskin itu agar
mereka mendapatkan makanan dan minuman yang layak dan mendapatkan perawatan dan
pendidikan yang layak.
Sejak saat itulah Bai Fang Li
menghabiskan waktunya dengan mengayuh becaknya mulai jam 6 pagi sampai jam
delapan malam dengan penuh semangat untuk mendapatkan uang. Dan seluruh uang
penghasilannya setelah dipotong sewa gubuknya dan pembeli dua potong kue kismis
untuk makan siangnya dan sepotong kecil daging dan sebutir telur untuk makan
malamnya, seluruhnya ia sumbangkan ke Yayasan yatim piatu itu. Untuk
sahabat-sahabat kecilnya yang kekurangan.
Ia merasa sangat bahagia sekali
melakukan semua itu, ditengah kesederhanaan dan keterbatasan dirinya. Merupakan
kemewahan luar biasa bila ia beruntung mendapatkan pakaian rombeng yang masih
cukup layak untuk dikenakan di tempat pembuangan sampah. Hanya perlu menjahit
sedikit yang tergoyak dengan kain yang berbeda warna. Mhmmm… tapi masih cukup
bagus… gumannya senang.
Bai Fang Li mengayuh becak tuanya
selama 365 hari setahun, tanpa perduli dengan cuaca yang silih berganti,
ditengah badai salju turun yang membekukan tubuhnya atau dalam panas matahari
yang sangat menyengat membakar tubuh kurusnya.
“Tidak apa-apa saya menderita, yang
penting biarlah anak-anak yang miskin itu dapat makanan yang layak dan dapat
bersekolah. Dan saya bahagia melakukan semua ini…,” katanya bila orang-orang
menanyakan mengapa ia mau berkorban demikian besar untuk orang lain tanpa
perduli dengan dirinya sendiri.
Hari demi hari, bulan demi bulan dan
tahun demi tahun, sehingga hampir 20 tahun Bai Fang Li menggenjot becaknya demi
memperoleh uang untuk menambah donasinya pada yayasan yatim piatu di Tianjin
itu. Saat berusia 90 tahun, dia mengantarkan tabungan terakhirnya sebesar RMB
500 (sekitar 650 ribu rupiah) yang disimpannya dengan rapih dalam suatu kotak
dan menyerahkannnya ke sekolah Yao Hua.
Bai Fang Li berkata, “Saya sudah
tidak dapat mengayuh becak lagi. Saya tidak dapat menyumbang lagi. Ini mungkin
uang terakhir yang dapat saya sumbangkan……” katanya dengan sendu. Semua
guru di sekolah itu menangis……..
Bai Fang Li wafat pada usia 93
tahun, ia meninggal dalam kemiskinan. Sekalipun begitu, dia telah menyumbangkan
disepanjang hidupnya uang sebesar RMB 350.000 ( setara 470 juta rupiah) yang
dia berikan kepada Yayasan yatim piatu dan sekolah-sekolah di Tianjin untuk
menolong kurang lebih 300 anak-anak miskin.
Foto terakhir yang orang punya
mengenai dirinya adalah sebuah foto dirinya yang bertuliskan ” Sebuah Cinta
yang istimewa untuk seseorang yang luar biasa”.
thanks to:http://www.resensi.net/cinta-istimewa-untuk-orang-yang-luar-biasa/2011/02/#ixzz2MxOColSH
SUNGGUH LUAR BIASA KISAH NYATA DI ATAS, KEHIDUPAN YANG BENAR-BENAR MEMBERIKAN DAMPAK DAN PENGARUH YANG LUAR BIASA ! KEHIDUPAN BAI FANG LI MEMBERIKAN KEHARUMAN DITENGAH-TENGAH ORANG-ORANG YANG HANYA SIBUK MEMENTINGKAN DIRINYA SENDIRI. MARI SOBAT, SIAPAPUN KITA YANG MEMBACA ARTIKEL INI, KITA SAMA-SAMA BELAJAR UNTUK MEMBERIKAN CINTA KEPADA SESAMA KITA LEWAT HAL TERKECIL YANG DAPAT KITA LAKUKAN SETIAP HARI. SEMENTARA ORANG HANYA SIBUK DENGAN DIRINYA SENDIRI, MAUKAH KITA MENGESAMPINGKAN EGO KITA UNTUK BELAJAR MEMBERIKAN KEMURAHAN DARI HATI KITA YANG PALING DALAM...?
TERIMAKASIH SUDAH BERKUNJUNG KE BLOG INI, SEMOGA ARTIKEL INI MENAMBAH WAWASAN & MEMBERIKAN MANFAAT BAGI KITA SEMUA YANG MEMBACANYA...JANGAN LUPA UNTUK SELALU BERKUNJUNG KEMBALI...KARENA MASIH BANYAK ARTIKEL MENARIK LAINNYA YANG MENUNGGU UNTUK DIBACA OLEH PARA SOBAT SEMUA.
SELURUH ISI DARI BLOG INI BOLEH DI COPY-PASTE/DISEBARLUASKAN DENGAN SYARAT MENCANTUMKAN LINK SUMBER DARI BLOG INI. THANKS... !