Tanggal
16 Mei 2000 adalah hari yang patut kami rayakan sebagai mahasiswa/i, karena
ujian semester di kampus baru saja berakhir. Kelegaan meliputi hati kami,
karena salah satu beban hidup telah terangkat.
Perkenalkan
nama saya Dewi. Waktu itu aku sedang mengobrol santai dengan teman, ketika
tiba-tiba terdengar suara mengagetkan yang sangat keras. Karena
penasaran, kami langsung menuju sumber timbulnya suara.
Aku
sangat terkejut melihat seorang pria yang jatuh kesakitan, dengan tulang tumit
yang menonjol keluar. Pria itu adalah Liau Jusmin, calon suamiku. Kontan saja,
aku menjerit histeris.
Aku
dan seorang teman mengiringi keberangkatan Jusmin ke rumah sakit. Dokter
mengatakan bahwa Jusmin harus segera dioperasi, karena pendarahannya sangat
banyak, bukan hanya di tubuhnya tetapi juga di otaknya. Sayangnya, pengesahan
surat ijin operasi membutuhkan tanda tangan anggota keluarga Jusmin, sedangkan
dia tidak memiliki siapa-siapa di kota ini. Ibunya ada di luar kota.
Saat
aku—sebagai pacarnya—menawarkan diri untuk menandatangan, suster menolak.
Jusmin
jatuh di STT IMAN, tempat kami berkuliah. Saat itu dia sedang mengambil jemuran
di tingkat atas asrama yang tingginya sekitar 10 meter dari tanah. Jusmin jatuh
dengan posisi lutut menyentuh tanah dan terjerembab. Sehabis itu, dahinya
tersungkur ke ubin.
Di
rumah sakit, aku merasa panik dan tidak tahu harus berbuat apa, karena jika
tidak ditangani secepatnya, Jusmin bisa meninggal dunia.
Tiba-tiba
sesosok pria tak dikenal berjalan ke arah tempat dudukku dan berkata,
"Anda teman dekat Jusmin? Saya dosennya Jusmin, dan saya juga bekerja di
sini." Lalu dia berpaling kepada suster, "Biar saya yang menjamin,
Suster." Puji Tuhan, aku bisa sedikit bernafas lega sekarang.
Kamar
operasi disibukkan dengan para dokter dan perawat. Waktu berlalu. Tak terasa
sudah 24 jam aku menunggu. Begitu dokter mengeluarkan batang hidungnya, aku
langsung menyambar.
"Kecelakaan
ini melibatkan syaraf otaknya. Jadi, apapun bisa terjadi," ujar dokter.
"Maksudnya,
Dok?" tanyaku kebingungan.
"Jusmin
bisa saja mengalami hilang ingatan, bahkan cacat mental," sambungnya.
Badanku
lemas.
Entah
kenapa, ada seorang anak duduk di kursi roda yang sedang lewat di situ. Tanpa
kutanya, dokter berujar, "Lihat, anak ini memiliki kasus yang sama.
Sekitar satu tahun dia bisa sembuh."
Meskipun
Jusmin sudah menempuh operasi, hati kecilku masih tak tenang. Aku selalu
teringat akan perkataan dokter yang terakhir itu. Ternyata ada resiko yang
berat pasca-operasi.
Lalu
dokter memberi kesempatan agar aku masuk ke ruang operasi. Dengan suara
tersendat dan perlahan, kulihat Jusmin berkata, "Mama .. mama…"
Astaga!
Kenapa cara Jusmin berbicara seperti anak kecil begini?!
Dokter
pun menjelaskan bahwa tingkat kesadarannya menurun.
Melihat
tingkah lakunya yang menjadi berbeda, aku sedih. Dia melakukan hal aneh,
ditambah lagi rasa sakit yang ia derita. Kadang dia memukul dan memaki orang
yang sedang menjaga dia. Kadang dia menangis histeris seperti seorang anak
kecil. Hal yang paling menyedihkan adalah melihat orang yang kita sayangi
menderita luar biasa tetapi kita tidak bisa melakukan apapun. Rasanya bagaikan
ingin berlari dan memeluk dia, tetapi tidak bisa kesampaian. Jika aku punya
kesempatan untuk bisa berbagi penderitaan, aku ingin mengalami apa yang dia
alami, karena aku sungguh tidak tahan melihatnya. Berapa lama Jusmin harus
menderita seperti ini? Dan bagaimana masa depannya nanti? Dunia seolah runtuh.
Bahkan Tuhan pun tak bisa mendengar seruanku minta tolong.
-Tiga
minggu pasca operasi-
Suatu
ketika Jusmin mengerang kesakitan, tetapi dia tidak lagi bertingkah seperti
anak kecil. Rasa sakit yang Jusmin derita adalah seperti ada logam besi yang
menggorok kepalanya. Lututnya terasa ngilu.
"Apa
yang terjadi?" tanya Jusmin.
"Apa
kamu tidak ingat?" kataku.
"Yang
kuingat terakhir kali… aku sedang mengambil jemuran."
"Syukurlah
kamu sadar."
Jusmin
merasa dirinya bagai orang cacat. Kepalanya gundul, harus memakai kacamata.
Banyak orang menganggap dirinya makhluk aneh. Jusmin ditinggalkan ibunya, yang
harus pulang ke Kalimantan. Orang yang dikasihinya tidak bisa berada di
sisinya. Jusmin berprinsip, lebih baik dia membantu orang daripada dirinya yang
dibantu. "Saya merasa tidak berdaya. Lalu untuk apa saya hidup kalau begini
keadaannya?" ungkap Jusmin dengan sedih.
Jusmin
tidak lagi memikirkan hubungannya denganku. Dia rasa dirinya tidak layak lagi
menjadi suamiku.
Niat
Jusmin adalah pulang kampung, karena dengan demikian dia bisa dirawat oleh
keluarganya. Baginya, inilah waktunya untuk mengubur semua harapan, cita-cita,
dan impian yang ingin ia kejar. Tak mungkin ia menjadi manusia normal kembali.
"Tapi,
daripada menderita terus seperti ini, bukankah lebih baik bunuh diri?"
ungkap Jusmin. Namun Jusmin menyadari bahwa bunuh diri itu adalah dosa. Jusmin
akhirnya mengetahui bahwa ia tidak bisa lari ke mana-mana. Hanya kepada
Tuhan-lah dia harus berlari, baru dia akan mendapat kekuatan.
Di
tengah kekalutan, Jusmin mencoba meraih Alkitab dan membacanya. Ia menemukan
ayat di Yakobus pasal satu, yang berbunyi, "Anggaplah sebagai suatu
kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu
tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan." (ayat 2-3)
Perlahan-lahan,
Jusmin melihat karya Tuhan yang luar biasa. Tuhan seakan menunjukkan kilas
balik: mulai dari saat Jusmin jatuh, ada teman yang menolong membawa ke rumah
sakit, lalu ada dosen yang dipakai Tuhan untuk menjamin operasinya, dan juga
dokter yang disediakan untuk merawatnya. Jusmin menyadari bahwa keberadaan
tiap-tiap orang tersebut adalah cara Tuhan menolong Jusmin. Bahkan dalam
kehidupan sehari-hari, saat Jusmin butuh bantuan, teman-temannya selalu siap
menolong. Bahwa Tuhan masih menyediakan pertolongan, menjadi dorongan bagi
Jusmin untuk bangkit.
Aku
melihat ada secercah harapan dalam diri Jusmin sekarang. Hati yang gembira
adalah obat yang manjur. Doaku terjawab. Proses kesembuhan yang menurut medis
membutuhkan waktu setahun, nyatanya tidak berlaku bagi Jusmin. Dalam kurun
waktu empat bulan Jusmin telah melepas tongkatnya. Dia berjalan dan
beraktivitas seperti biasa.
"Dalam
pandangan manusia, kita menemukan banyak prediksi negatif. Tetapi dalam Tuhan
justru Ia mengubahkan itu menjadi sesuatu yang indah," kata Jusmin.
"Saya
mengalami hal yang berat tetapi saya tahu bahwa setiap persoalan yang kita
hadapi tidak melebihi kekuatan kita. Apalagi, Tuhan Yesus Kristus memberikan
bukan hanya kekuatan, tetapi juga jaminan keselamatan dan kemenangan bersama
dengan Dia. Kita tidak boleh menyerah terhadap apapun juga."
Petaka
diubah menjadi sukacita di dalam tangan Tuhan. Cara Ia bekerja sungguh dahsyat
dan ajaib. Jusmin hanya bisa bersyukur akan semua yang telah ia hadapi.
thanks to:http://www.jawaban.com/index.php/spiritual/detail/id/9/news/130226145135/limit/0/Kisah-Nyata-Jusmin-yang-Jatuh-dari-Ketinggian
10-Meter.html
Sumber
Kesaksian:
Liau
Jusmin dan Dewi (istri Jusmin)