Remaja laki-laki berusia sekitar 16 tahun langsung bersemangat
begitu melihat ada sebuah mobil berhenti, Jumat (28/3/2014) malam. "Mencari
`cabe-cabean' Om," tanyanya kepada seorang pengendara mobil.
Waktu sudah menunjukkan hampir lewat tengah malam alias dini hari di kawasan
Kembangan, Jakarta Barat, tidak jauh dari Kantor Wali Kota Jakarta Barat.
Remaja itu tak sendiri. Dia berlima dengan rekannya, masing-masing membawa
sepeda motor.
Dari lima remaja itu, empat diantaranya mengaku masih duduk di kelas X SMK.
Seorang lagi sudah putus sekolah sejak SMP. Mereka punya bisnis `cabe-cabean',
tapi baru dalam tahap merintis.
Masa kini
Pemimpin kelompok ini seorang remaja bergaya masa kini. Memakai topi
terbalik dan celana menyempit di ujungnya. Bicaranya santai dan cepat akrab. Ia
meminta dipanggil Chito (bukan panggilan sebenarnya).
Diantara rekan-rekannya, baru dia yang punya stok 'cabe-cabean'. "Saya
punya dua 'cabe' yang siap diantar apabila ada yang memesan jasanya,"
katanya terus terang.
Satu cabe masih gadis. Usianya baru 16 tahun dan masih duduk di kelas X SMA.
Wajahnya cantik, kulitnya putih, dan rambutnya panjang. Namanya Sasya (bukan nama
sebenarnya). "Itu dijamin masih gadis (perawan). Harganya Rp 20
juta," ujar remaja ini kepada Warta Kota.
Kemudian satu cabe lainnya jauh lebih murah karena bukan gadis lagi. Sama
seperti Sasya, dia masih duduk di kelas X SMA. Namanya Dini (bukan nama sebenarnya).
Sekali melayani tamu tarifnya Rp 500.000. "Satu kali saja, Mas dan tinggal
mencari hotel saja," kata remaja itu.
Tapi, Dini tak bisa melayani tamu di atas pukul 22.00 lantaran harus pulang
ke rumah pada jam itu. Kecuali di akhir pekan. Sedangkan Sasya hanya bisa
sampai pukul 17.00, di mana orangtuanya mengharuskan Sasya sudah pulang.
Balap liar
Dini dan Sasya punya perbedaan. Dini tadinya 'cabe' di arena balapan liar.
Dia jadi piala bergilir 'pebalap liar' remaja sejak kelas 1 SMP. Saat masih kelas
II SMP, Dini sudah melepas kegadisannya senilai Rp 15 juta. Sekarang Dini sudah
berhenti jadi 'cabe' di balapan liar.
Sementara Sasya bukan 'cabe' di balapan liar. Orangtuanya sudah tak ada.
Ibunya bekerja mencuci pakaian milik tetangganya. Sasya tinggal di gang sempit
di kawasan Cipondoh, Tangerang. Dia menjual kegadisannya karena alasan ekonomi.
Chito kenal Dini sudah lama. Sejak Chito sering ikut balapan liar ketika
Dini masih SMP sudah jadi 'cabe-cabean' di balapan liar. Dini tertarik dengan
Chito karena terkenal.
Chito terkenal di arena balap liar dengan panggilan Kemplang dan cukup
disegani. Motornya keren karena sudah dimodifikasi sana-sini. Bannya diganti
ban sepeda. Cat motornya diganti warna-warni. Warna motornya juga terang.
Makanya, banyak 'cabe' tertarik, termasuk Dini. Tapi Chito sering
bergonta-ganti 'cabe'. "Saya sudah lupa ada berapa 'cabe' yang pernah sama
saya. Banyak banget," kata Kemplang sambil garuk-garuk kepala, Sabtu
(29/3) sore.
Sore itu Chito nongkrong di Taman Semanan Indah, Kalideres, Jakarta Barat.
Di situ juga tempat nongkrong 'cabe-cabean'. Makanya sore itu ada sederet anak
motor lain yang nongkrong. Begitu juga 'cabe-cabean', sibuk berputar-putar naik
motor minta digoda.
Setelah lama hubungan antara Chito dan Dini berakhir, tiba-tiba Dini
menghubungi Chito tiga bulan lalu. Dini meminta Chito memasarkan dirinya. Chito
pun mengiyakan. Rupanya sejak tak berhubungan lagi dengan Chito, Dini
menjajakan sendiri.
Imbalan untuk Chito tak besar. Setiap habis disewa Dini cuma mengajak Chito
nongkrong, dibelikan minuman keras dan makanan lain. "Paling dia habiskan
Rp 100.000 untuk saya," ucap Kemplang kepada Warta Kota.
Sementara Sasya, menurut Chito dikenalnya di sebuah pusat perbelanjaan dua
bulan lalu. Kemudian keduanya sering saling kontak dan jalan bareng. Tapi baru
tiga minggu lalu Sasya meminta Chito menjual kegadisanya.
Chito mengaku, menjual Dini lebih mudah ketimbang menjual Sasya. "Kalau
Sasya harus bos-bos soalnya. Saya belum punya kenalan bos. Kalau Mas punya bos
mau, kabari saja. Atau tawarin saja sekalian, naikan tarifnya. Nanti
kelebihannya untuk Mas," kata Chito kepada Warta Kota.
Di bisnis 'cabe' yangmasih gadis ini agak berbeda ketimbang yang sudah tidak
gadis. Ada istilah `dioper' di bisnis 'cabe' gadis. Dioper itu seperti dijual
oleh pihak ketiga atau pihak lain. Jadi yang menjual adalah temannya Chito.
Makanya tidak heran kalau tarifnya semakin mahal. Belum lagi ada istilah
`uang berisik'. Uang berisik ini diberikan konsumen ke penjual terakhir.
Besaranya beragam, tergantung kesepakatan antara Rp 500.000 sampai Rp 2 juta.
Di Jakarta pasaran 'cabe' gadis paling mahal Rp 30 juta, adanya di
Kemayoran, Jakarta Pusat. Tapi di CNI, Kembangan, Jakarta Barat, harga cabe
gadis cuma Rp 10 juta-Rp 15 juta. "Makanya nanti Sasya mau coba saya
tawarkan di Kemayoran. Bisa lebih tinggi di sana," kata Kemplang
sumber:https://id.berita.yahoo.com/tarif-cabe-cabean-perawan-rp-20-juta-031527594.html