Perceraian ayah dan ibunya membuat kehidupan
Yayah Ade Rina berubah selamanya. Masa kecil Yayah yang seharusnya dipenuhi
dengan perhatian dan kasih dari kedua orangtuanya berubah menjadi masa-masa
menyeramkan. Ibunya yang harus sibuk bekerja keras menjadi tulang punggung
keluarga, membuat Yayah yang ditinggal di rumah bersama sang paman merasakan
pahitnya didikannya.
"Salah melakukan sesuatu yang tidak sesuai
dengan keinginan dia, saya dipukul pakai kayu," demikian tutur Yayah.
Rasa takut, itulah yang Yayah rasakan setiap kali
melihat atau bahkan mengingat sosok sang paman. Baginya rumah adalah tempa yang
mengerikan baginya. Rasa dendam di hatinya membuatnya ingin membalas perbuatan
sang paman.
"Saya dendam sekali sama dia, sampai saya
ingin bunuh, saya ingin tusuk kalau dia lagi tidur," itulah keinginan
Yayah kecil, tapi apa daya, ia hanya seorang gadis kecil.
Hingga ia memasuki masa SMA-nya, saat itu ia
berkenalan dengan seorang teman pria yang mengajaknya berkenalan dengan
anak-anak seusianya yang putus sekolah dan kurang kasih sayang yang sering
berkeliaran di terminal bus.
"Pertama saya merasa takut ya, bergaul
dengan orang-orang yang kurang kasih sayang, dan ada yang putus sekolah. Tapi
satu dua kali saya di ajak, saya mulai tertarik. Asik-asik orangnya…"
ungkap Yayah.
Sejak bergaul dengan anak-anak itu, prilaku Yayah
berubah kasar. Ia sering memalak, minum-minuman keras dan bermain judi. Tak
jarang ia tidak pulang ke rumah dan asik dengan teman-temannya di terminal itu.
Tapi suatu hari, sosok yang ia takuti itu muncul kembali.
"Sempat waktu saya lagi nongkrong, ketahuan
sama om saya. Saya ditarik sama om saya, disuruh pulang. Saya dinasehatin, tapi
nasehatnya menjatuhkan harga diri saya sebagai perempuan. Kesel juga saya
dikatain perempuan nakal, tapi saya tidak beritahukan kalau selama ini saya
nongkrong karena saya kesal sama om saya."
Hati kecil Yayah tahu bahwa tidak baik menjadi anak yang pemberontak, namun diluar rumah sana ia menemukan peneriman dan sosok pria yang melindungi dan mengasihinya. Tidak menemukan jalan keluar, Yayah terus menjalani kehidupannya yang brutal di terminal. Suatu hari, seorang ibu yang pulang dari pasar menjadi korban pemalakannya bersama teman-temannya.
Yayah merebut belanjaan ibu itu, "Beri saya
uang, kalau tidak saya buang belanjaan ini dan saya injak-injak."
Ibu itu dengan terpaksa mengeluarkan uang dari dompetnya sambil berkata, "Kamu masih anak-anak aja sudah kaya gini, gimana kalau sudah besar..!"
Perkataan itu langsung membuat Yayah terdiam,
"Perkataan itu seperti menyentuh saya. Sepertinya hidup ini tidak berguna,
dan saya bingung apa yang harus saya lakukan."
Ditengah kebingungannya, seorang kerabat dari
ayahnya datang dan memberitahukan keberadaan ayahnya.
"Dia bilang ayah saya ada di Palembang.
Untuk menghindar dari teman-teman pergaulan saya yang tidak baik, akhirnya saya
memutuskan untuk ke Palembang."
Perjalanan pencarian akan sang ayah pun di mulai,
menapakkan kaki di kota Palembang Yayah akhirnya memberanikan diri menemui sosok
pria yang selama ini tidak ia kenal.
"Walaupun dalam hati ada rasa kesel karena
selama ini dia tidak ada tanggung jawab, sebagai ayah tidak ngurusin saya, tapi
ketika dia minta maaf dan dia peluk saya, dia cium saya, akhirnya saya senang.
Saya bangga, oh ini dia, saya merasakan punya ayah."
Hati Yayah yang terluka sedikit terobati oleh
kasih yang baru ia rasakan dari sang ayah. Bersama keluarga ayahnya, ia
kemudian membangun kehidupan yang baru. Hingga seorang teman memperkenalkannya
dengan seorang pria yang bernama Maykel, yang dikemudian hari akan menjadi
suaminya.
Hubungannya dengan Maykel tidaklah berjalan
mulus, karena sikap egois Yayah, maka Maykel lebih sering mengalah.
"Pernah suatu kali, dia marah saya, dia
tampar saya," demikian kenang Maykel, suami Yayah. "Reaksi yang dia
tidak suka, dia keluarkan kata-kata yang ngga sopan."
Maykel bersabar menghadapi Yayah, hingga suatu
hari Maykel mendengar ada sebuah ibadah yang diadakan khusus untuk pemuda. Ia
pun mengajak Yayah untuk pergi ke ibadah itu.
"Saya ajak dia, saya bilang: Besok mau ngga
pergi ke tempat rekreasi?" jelas Maykel
"Saya pun tidak tahu kalau disana ada
ibadah, karena suami saya bilangnya Cuma jalan-jalan aja," aku Yayah.
Namun Yayah mengikuti ibadah itu tanpa komentar,
dan disana ia mendengar sebuah lagu yang begitu indah dan menyentuh hatinya.
"Lagunya, "Mataku tertuju padamu".
Saya bilang begini, ternyata mata Tuhan tertuju pada saya. Semakin saya dengar,
semakin tenang jiwa saya. Sepertinya baru kali ini saya rasakan begitu leganya jiwa
saya, begitu damainya hati saya, tanpa saya sadari mulut saya berkata: saya
terima Tuhan, saya buka hati untuk Tuhan."
Hari itu, Yayah merasakan kelepasan dan kelegaan.
Semua beban dalam hidupnya yang selama ini menekannya lenyap sudah. Sejak saat
itu, Yayah berjanji untuk mengubah cara hidupnya, bahkan ia membuat sebuah
komitmen baru.
"Karena Tuhan juga sudah mengampuni saya,
juga sudah memulihkan saya, saya belajar mendoakan orang yang sudah menyakiti
saya, melupakan dan mengampuni om saya yang sudah berbuat kasar pada
saya."
Keputusannya itu diikuti oleh sebuah tindakan
berani. Setelah sekitar delapan tahun tidak pernah berjumpa dengan sang paman,
Yayah datang untuk meminta restu agar dapat menikah dengan pria yang ia cintai.
"Terserah kamu mau menikah dengan siapa,
asalkan dia sayang sama kamu, dan saya minta maaf jika selama ini menyakiti
kamu," demikian ujar sang paman.
"Saya dengan kaget berpelukan (dengan
paman). Saya percaya ini karena kemurahan Tuhan, sampai dia mau meminta maaf dari
hatinya yang terdalam, hingga menangis."
Tuntas sudah semua permasalah di masa lalu Yayah.
Gadis kecil yang bersikap berandalan itu kini telah berganti menjadi seorang
wanita muda yang lembut dan penuh kasih sayang merawat sang suami dan kedua
anak laki-lakinya. Kini kerinduannya agar kedua anak-anaknya bertumbuh menjadi
anak-anak yang takut akan Tuhan serta tidak mengulang sejarah buruk yang pernah
ia alami.
Sumber Kesaksian:
Yayah Ade Rina
sumber:http://www.jawaban.com/index.php/spiritual/detail/id/9/news/110519130711/limit/0/Kisah-Nyata-Yayah-Gadis-Preman-Tukang-Palak-Terminal.html